Sabtu, 26 Juni 2010

THE INNOCENTS

 
 
The Innocents Official Trailer

Curhat mode on: Saya tidak tahu dengan anda, tapi akhir-akhir ini saya merasa malas untuk menonton film-film baru. Saya belum ada ketertarikan untuk nonton film Bentrokan Pecahan Band Peterpan (Clash of the Titans), Yth. John (Dear John), Tulang Ca’em (Lovely Bones) atau bahkan film festival berjudul Kojang (Ko’id di Ranjang) itu. Saya merasa film-film sekarang—terutama film Hollywood, amat terlalu bersandar pada teknologi sehingga yang lainnya dinomor duakan, terutama untuk cerita, naskah, karakter, sampai akting. Singkatnya, saya ngeliat film-film belakangan ini seperti produk susu bubuk. Nggak usah susah-susah meres dan kejar-kejaran sama sapi. Tinggal tambah air panas, udek-udek dan voila! Jadilah minuman lima sempurna.

Inilah yang membuat gua mulai memburu film-film non Hollywood. Saya akui, bahwa saya dari dulu (dan mungkin sampai sekarang) masih terjangkit penyakit Hollywood Itis dimana film-film yang saya tonton nyaris semuanya keluaran pabrik film Oom Sam tersebut. Jadi bayangkan betapa terkaget-kagetnya waktu saya nonton 8 Women (film Prancis, part musical, part murder mistery), Ils (film horror Prancis yang di-plagiat habis-habisan dalam film-nya Liv Tyler, The Strangers) atau the Diving Bell and the Butterfly (film drama Prancis (btw kok Prancis mulu ya?) tentang orang yang lumpuh total, tapi sanggup nulis buku). Saya ngerasa bullet points mengenai sebuah tontonan yang udah terpatri di otak saya sejak pra aqil baliq, diacak-acak dengan sentosa. Tiba-tiba poin bertuliskan “cewek sekseh”, “ledakan setara seratus juta tabung elpiji” dan “makhluk-makhluk aneh bin astojim ciptaan Windows dan Mac” ilang semua kelelep di empang. Suddenly, a story, characters and craftsmanship took center stage. Lalu bagaimana dengan film berjudul The Innocents (1961), yang gua temukan tanpa sengaja saat sedang um..dengan tanpa sengaja mencari film-film bajakan di megaupload, hotfile, dan rapidshare.com?

Pertama-tama, saya ingin menginformasikan beberapa hal tentang film The Innocents ini. Menurut situs imdb, genre film ini adalah horror. Rilisnya sekitar tahun 1961. Enyahkan segala harapan untuk melihat tokoh cewek goblok berbikini yang jejeritan dikejar lelembut. Di sini tokoh utamanya pake gaun ketutup semua, sanggulan pula. Gambarnya aja masih gambar Oreo (alias item putih). Tapi tolong jangan keburu ilfil dengan fakta bahwa gambarnya item putih. Film-nya Mbah Alfred Hitchcock yang judulnya Psycho (1960) juga item putih. Tapi toh pengaruhnya masih kerasa sampe sekarang, di generasi para penikmat 3 Dimensi ini. Pertanyaannya adalah, apakah film zama pre-historik yang ngaku-ngaku sebagai film horror ini sanggup nakut-nakutin kita yang sudah kenyang digerojokin film-film macam Paranormal Activity, The Sixth Sense, The Others dan Rumah Pondok Indah?

Mari lihat dulu sinopsisnya. Seorang mbak-mbak cakep nan lugu bernama Miss Giddens (diperankan oleh aktris Deborah Kerr) mendapatkan tawaran untuk menjadi governess (semacam pengurus anak-anak, job desk-nya mencakup menjadi guru privat anak-anak di rumah) kepada sepasang anak-anak, keponakan dari seorang pria kaya raya yang tidak punya kepedulian secara mental dan emosional untuk mengurus keponakannya sendiri. Miss Giddens menerima pekerjaan tersebut. Mbak-mbak cantik nan lugu ini pun dibawa naik kreta kuda menuju sebuah kastil besar di daerah pedesaan yang diberi nama Bly House. Di dalam rumah tersebut dia berkenalan dengan Mrs. Grose, pelayan tua yang sudah sejak dulu setia mengurusi rumah dan menemani kedua bocah cilik tersebut. Bocah-bocah yang dimaksud di sini bernama Miles dan Flora. Pada saat kita pertama kali berkenalan dengan mereka, Miles dan Flora tampak seperti tipikal anak-anak di iklan Cerebrovit, Supradyn dan Inzana. Keduanya tampak begitu aktif, sehat, ceria dan bebas polio. Seperti syair lagunya Betharia Sonata, “Mulanya biasa sajaa..” Miss Giddens merasa dia akan menjalankan pekerjaannya sesuai dengan job desk yang diinformasikan padanya. Namun, seperti film horror pada umumnya, keadaan yang tadinya normal-normal saja berubah menjadi…well…paranormal.

Miss Giddens mulai melihat sosok pasangan pria dan wanita yang bertampang dingin, mondar-mandir di dalam dan di luar rumah. Baik di malam hari maupun tengah hari sat lohor. Dalam ketakutan, governess jelita tersebut berusaha mengorek-ngorek sejarah kastil yang ia tempati dari Mrs. Grose sang pelayan tua. Rahasia apa yang akhirnya diungkapkan oleh Mrs. Grose merupakan sebuah peristiwa skandal yang memberikan nilai ironis pada judul film ini sendiri.

Agak menarik memperhatikan para filmmaker men-definisikan hantu dalam film-film mereka. Film-film seperti The Ring dan The Grudge sepertinya mendefinisikan hantu sebagai awewe berambut gondrong yang eksis khusus untuk membalas dendam. Blair Witch Project dan Paranormal Activity di lain pihak, memandang hantu (dan/atau penyihir) sebagai calon bintang-bintang potensial di program reality show. Filmnya Guilermo Del Toro: The Devil’s Backbone dan M. Night Shyamalan dalam The Sixth Sense berpendapat bahwa hantu adalah sosok-sosok yang menyedihkan dan butuh pertolongan. Sedangkan The Shining (Stanley Kubrick) beropini bahwa hantu adalah manifestasi dari kebiasaan buruk anda sendiri (Oom Kubrick seems to think that alcohol can make you lose your mind and urge you to chop your cute kid and caring wife to pieces with an axe). Bagaimana dengan The Innocents?

Saya menangkap bahwa Jack Clayton—sutradara film ini—sepertinya tidak ada hubungan darah dengan Michael Clayton (filmnya George Clooney), berpendapat bahwa “hantu” adalah suatu “sejarah yang buruk”. Yaitu cerita tentang suatu peristiwa yang terjadi pada suatu masa, di suatu tempat, yang tidak kita alami atau saksikan sendiri, namun hanya sempat mendengar dari penuturan orang lain. Inilah yang terjadi pada Miss Giddens. Wanita lugu yang baru pertama kali mendapatkan pekerjaan—sebagaimana dia katakan di awal-awal film—itu harus langsung memikul tidak saja sebuah tanggungjawab besar untuk mengurusi anak-anak hiperaktif di sebuah kastil seluas lapangan bola, namun juga harus tabah mendengar sejarah “kotor” yang menodai tempat itu sebelum kedatangannya. Miss Giddens, seperti halnya kita ketika mendengar cerita tentang suatu peristiwa yang “diluar norma”, menjadi begitu involved, begitu terpengaruh hingga dirinya mulai melihat “sejarah” dan “kisah-kisah kelam” tersebut berubah menjadi nyata dan “berwujud” di depan matanya sendiri. “Sejarah” itu berubah menjadi hantu.

Saya harus akui, film ini membuat saya merinding. Dan itu dilakukan oleh sutradaranya tanpa segala macam trik yang sudah sering digunakan di film-film horror jaman sekarang (e.g. musik yang tiba-tiba keras seolah komposer-nya ngamuk, tokoh yang kaget dicolek seseorang—yang ternyata “Eeh.. cuma tikus”, kucuran darah manusia yang luber bak sirop Tjampolay atau kamera dikocok-kocok biar filmnya keliatan “real”). Saya menilai The Innocents sebagai semurni-murninya film horror. Kita menjadi takut bukan karena musiknya yang memerintahkan kita untuk takut. Kita menjadi ngeri bukan karena ada pisau, golok atau parutan yang dilempar ke depan mata kita (after all, they don’t have 3D in the 60’s. Mungkin kalo beneran dilemparin, kameramennya yang kena). Kita ketakutan karena memang beneran cerita dan suasananya creepy. Tanpa sadar, kita benar-benar seperti berada di posisinya Miss Giddens saat Mrs. Grose, sang pelayan tua, pertama kali menguak kisah di balik kastil tersebut. Kita beneran ngerasa uneasy ketika kedua bocah yang keliatannya um..innocent itu mulai mendendangkan lagu, puisi dan pertanyaan-pertanyaan yang jauh melampaui usia mereka. Membuat anda bertanya-tanya: siapa yang mengajari mereka hal-hal seperti itu? Apakah mereka benar-benar “tidak berdosa”? Kenapa sang paman tampak tidak mau mengurusi mereka? Apakah mereka benar-benar anak-anak?

Tidak semua pertanyaan di atas dijawab oleh Jack Clayton—sutradaranya. Namun, seriously, film ini ditutup dengan adegan akhir yang sangat ambigu. Begitu ambigu-nya sampai saya mangap. Film tahun 1961 ini menyentuh begitu banyak hal dengar cara tersirat dan diam-diam (dan ada juga yang terang-terangan) yang—saya yakin—masih dianggap tabu pada jamannya. Judul film ini boleh saja The Innocents. Namun substansi-nya, tokohnya, perbuatan tokoh-tokohnya, mencerminkan kekerasan. Sutradaranya secara sneaky memasukkan aspek-aspek amoral tersebut dalam ceritanya sedemikian rupa sehingga nyaris tidak kelihatan. Namun picingkan mata anda sedikit, dan coba lihat gerak gerik setiap tokoh serta tindakan-tindakan mereka, dan anda akan bergumam “Omaigod.” Seperti melihat hantu.

We lay my love and I
Beneath the weeping Willow
But now alone I lie
O, Willow I die.
O, Willow I die.

(O Willow Waly—the children’s song from The Innocents)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar