Sabtu, 06 November 2010

The Children


The Children Official Trailer

Semua yang demen nonton film pasti sadar bahwa ada beberapa hal yang dengan sengaja, sangat jarang atau bahkan tidak pernah ditunjukkan di dalam sebuah film. Mungkin karena, kalau hal tersebut ditunjukkan, bisa membuat film yang bersangkutan kehilangan greget, dicap konyol atau bahkan dianggap amoral. Contoh, tidak pernah ada kejadian seorang pendekar atau tentara salah tusuk atau salah tembak temennya sendiri dalam adegan peperangan yang serba cepat. Tidak pernah ada yang menunjukkan bagaimana Supermen mengancingkan kemejanya kembali (yang pasti udah jebol karena dirobek paksa) ketika ingin kembali jadi Clark setelah menyelamatkan dunia dari serangan misil-nya Lex Luthor. Tidak pernah ada adegan memperlihatkan Tarzan dan pasukan Sparta melakukan MCK. Tidak pernah juga ada adegan pembunuh berantai menelepon ke rumah korban tapi diangkat oleh anak TK atau pembantu (kecuali pembantunya remaja, cantik dan jago jerit-jerit). DAN, tidak pernah ada film mainstream yang secara eksplisit menunjukkan orang dewasa melukai anak-anak usia playgroup. “Prinsip Sopan Santun Film” yang terakhir saya sebut ini, akhirnya ditumbangkan oleh sebuah film inggris berjudul The Children.
 
The Children memiliki plot yang sekilas serupa dengan film tentang bocah-bocah uedhyan yang demen bikin setres orangtuanya (contoh The Omen, Children of the Corn, Village of the Damned, Orphan, sampai Dora the Exporer— lagian kerjaannya kelayapan ke hutan mulu sih. Gimana orangtuanya gak deg-degan coba). Namun sutradaranya membuat film ini berjalan dua kali lebih jauh, melompati pakem yang bahkan haram hukumnya untuk dilewati film-film horor kelas ekstrim sekalipun.

Film ini dimulai dengan berkumpulnya dua keluarga di sebuah rumah/vila di tengah hutan bersalju untuk merayakan tahun baru bersama. Masing-masing keluarga terdiri dari suami istri dengan anak-anak mereka yang kebanyakan usia playgroup sampai SD. Anak yang paling besar adalah seorang remaja putri bergaya emo sudah memasuki usia SMU. Sang remaja putri, sebagaimana anak-anak gaoel seusianya, tidak menyukai acara kumpul-kumpul keluarga seperti ini. Si putri lebih suka pergi partay dengan teman-temannya daripada bercengkerama dengan sepupu-sepupu hiperaktif yang tampaknya terlalu banyak menegak Kratingdaeng. Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur dan Cinta Fitri season 6 sudah semakin ngawur. Sang remaja tidak punya pilihan lain selain menggerutu dan sms an dengan temannya, berharap bisa dijemput keesokan harinya. Sayang, impiannya untuk bisa gila-gilaan di pesta terpaksa kelelep di Kali Sunter karena ternyata apa yang terjadi di dalam villa bersalju itu benar-benar jauh lebih sarap daripada konser trio maut Julia Perez, Aura Kasih dan Bang Haji Rhoma sekalipun.

Kegilaan itu, sebagaimana sudah disinyalkan dari judul filmnya, bermula dari anak-anak Teri Asin (Terlalu Imut dan Asli ngegemeSin) yang tiba-tiba saja berubah menjadi lebih liar daripada banteng rodeo. Dalam hitungan jam setelah berkumpul di villa tersebut, satu per satu anak-anak mulai membuat kacau suasana dengan menjerit-jerit, menangis, dan meronta-ronta. Para orangtua, sebagaimana umumnya orang tua, menganggap bahwa buah hati mereka hanya bersikap seperti layaknya anak-anak (yaitu..well.. senang menjerit, menangis dan meronta). Namun kemudian anak-anak tersebut mulai menyakiti. Kemudian melukai. Dan kemudian membunuh.

Sampai di sini, anda pasti sudah tahu hal-hal tabu macam apa yang ditunjukkan dalam The Children. Adegan anak-anak menyakiti orang dewasa mungkin sudah sering anda lihat di berbagai film horor (seperti the Omen, the Exorcist, Orphan, Power Puff Girls sampai Bayi Ajaib) tapi kemungkinan anda belum pernah melihat apa yang terjadi jika para orangtua membalas perbuatan anak-anak mereka sendiri dalam keadaan terdesak. Pertanyaan mengerikan inilah yang dilempar oleh Tom Shankland, sutradara film The Children, kepada penonton: Apakah anda tega menyakiti buah hati anda sendiri jika mereka dengan sengaja membahayakan nyawa anda?

Di dalam film ini, pertanyaan di atas dijawab dengan memperlihatkan berbagai adegan, salah satunya adegan dimana seorang ibu, yang benar-benar dalam keadaan terluka dan terpojok, tidak mampu (atau tidak mau) membela dirinya saat sekumpulan anak berjalan mendekat sambil menghunuskan pisau. Atau betapa para orangtua merasa dirinya bagai monster ketika mereka benar-benar menyakiti anak-anak mereka. Film The Children ini berulangkali membuat saya meremas mulut saya, mencegahnya supaya tidak jatuh menganga, bukan karena digarap secara eksploitatif, murahan dan hanya mengejar shock value (as if the director is saying: “Look i’m cutting edge artist, I break boundaries!”). Sebaliknya, film ini digarap dengan skillful, dan penuh gaya (ada beberapa shot-shot keren yang membuat penonton merasa melihat adegan luar biasa sadis, yang ternyata—jika ditonton ulang—adegan luar biasa sadis itu tidak pernah diperlihatkan). Hal ini yang juga dijadikan senjata oleh Tom Shankland, sang sutradara. Dia tahu betapa tidak nyamannya penonton jika ada anak-anak kecil dimasukkan ke dalam film horor. Dia tahu bahwa kita (penonton) punya batas toleransi yang minim terhadap adegan kekerasan terhadap anak-anak. Dan, di dalam film ini, ketika tiba saatnya para orangtua untuk membela diri, penonton (atau setidaknya saya) sudah dibuat begitu miris dengan apa yang akan terjadi. It’s like we knew this moment will come. We just didn’t think the director would dare to put it on screen. And then he does.

Ada beberapa sentuhan kecil yang turut menaikkan tensi film The Children. Tokoh anak-anak yang secara mendadak berubah anarkis di film ini diceritakan tetap merupakan anak-anak. Ini berarti mereka sebenarnya memiliki kekuatan setara anak-anak normal lainnya. Mereka bukan personifikasi setan, iblis ataupun babi ngepet—yang seringkali dipergunakan sebagai justifikasi untuk memusnahkan mereka di film-film lain—melainkan “hanya” sekumpulan anak-anak biasa yang tampaknya terserang suatu penyakit yang membuat mereka menggila (film ini tidak pernah menjelaskan mengenai apa yang sebenarnya yang menyerang anak-anak tersebut, yang menurut saya malah menaikkan aura “What the F*ck is Going on” yang menyelimuti film ini).

Akhir kata, saya angkat topi untuk sang sutradara, bukan karena saya menyukai topik atau isu yang dia angkat, tapi karena, sebagai penggemar film bergenre seperti ini, saya senang melihat sineas yang berani menggodok ide baru yang—terus terang, agak gila—seperti ini dan menggarapnya dengan baik dan enak dinikmati (untuk penggemar horor). Saya akan mencatat nama Tom Shankland dalam daftar must watch director di kepala saya dan menunggu film apalagi yang akan dihasilkannya setelah ini. Seorang sutradara Indonesia (yang bisa anda follow twitter-nya) mengatakan kurang lebih seperti ini (very loose quote): “Sebuah premis yang menarik adalah premis yang menggambarkan tokoh-tokoh utamanya, keadaan apa yang menimpa mereka, dan bagaimana sulitnya mereka terbebas dari keadaan tersebut, semuanya terangkum dalam satu kalimat. Kalau prinsip ini diterapkan pada film The Children, menurut saya film ini memiliki premis film horor yang dahsyat.