Minggu, 18 Desember 2016

HEADSHOT Same Difference or Different Enough?


Banyak yang bilang “Udah nggak ada lagi yang benar-benar baru di dunia ini”. Sampai derajat tertentu, saya setuju. Sesuatu yang benar-benar baru (seperti internet pada tahun 1950 an misalnya--kata Wikipedia) mungkin masih harus menunggu entah berapa puluh tahun lagi. Sambil menunggu ditemukannya hal baru, para konsumen perlu dikasih kompensasi berupa inovasi atau pemukhtahiran dari apa yang sudah ada, secara reguler. Nggak, kita nggak ujug-ujug minta Iphone yang batere nya bisa tahan selama sebulan, atau Siri yang tiba-tiba jadi lancar bahasa Indonesia. Tapi setidaknya, harusnya bisa lah ada update minor seperti tombol edit di Twitter, tempat naro foto panoramic di Instagram dan fitur recall di Outlook yang actually works. Konsumen nggak minta sesuatu yang completely, new. “Completely new” sounds untested, alien and therefore—to my pathetic, spineless, ball-less mind--scary. I want “completely new” to happen to other people first. But I’m all for innovation and creativity. Pakai semua yang sudah ada, kasih nilai tambah. Kalo yang ngeramu tangannya jago, chances are, hasilnya bikin konsumen hepi, and they will come back for more.

Take this movie “Headshot” for instance. Para pembuatnya sangat cerdik dan efisien. They work with what they know. Mereka tahu benar ada film unyu berjudul “The Raid” dan “The Raid 2”, film aksi buatan dalam negeri yang masing-masing sukses ditonton lebih dari satu juta pasang mata di Indonesia, kata internet. Mereka mahfum bahwa kedua film tadi diperankan oleh Iko Uwais ditemani--di film kedua, at least—oleh Julie Estelle, Very Tri Yulisman, dan Zack Lee. Daripada coba-coba aktor lain yang belum terbukti keandalan fisiknya, kenapa tidak pakai saja aktor-aktor yang sudah main di film tersebut? Toh cerita dan nama karakternya akan beda. Tambah lagi, in the creators’ defense, banyak sutradara lain yang menggunakan aktor-aktor yang sama untuk film ber-genre serupa (tengok lah Oom Liam Neeson nggak tau udah main di berapa film action selepas “Taken” atau Tom Cruise, yang setelah “Mission Impossible” jadi hobi banget nyelamatin dunia). Kalau filmnya menghibur, penonton akan tetap legowo merogoh kocek sedalam apapun untuk menonton filmya di bioskop. Apakah strategi para pembuat film “Headshot” berhasil?

Pertama dari ceritanya dulu, seorang pemuda berparas mirip jagoan di film The Raid, terkapar koma di rumah sakit di sebuah pulau selama dua bulan. Ia dirawat oleh seorang dokter muda cantik (karena kalau tidak cantik, filmnya akan berhenti di sini saja). Namanya dokter Ailin (diperankan oleh Chelsea Islan, yang menurut saya parasnya lebih cocok untuk memerankan mahasiswi). Suatu hari sang pemuda terbangun dari koma dan tidak ingat siapa namanya dan dari mana ia berasal. Sang dokter memberikan nama Ishmael kepada sang pemuda, diambil dari nama salah satu tokoh novel Moby Dick yang kebetulan lagi dibaca oleh sang dokter (entah apa yang terjadi jika mbak dokter kebetulan lagi baca komik Kobo Chan). Dokter Ailin tidak menyadari bahwa Ishmael sedang dicari-cari sekumpulan orang yang ingin menghabisinya. Sekumpulan orang-orang ini dipimpin oleh seorang pria paruh baya karismatik bernama Mr. Lee (diperankan dengan baik sekali menurut saya oleh aktor Singapura (kata Liputan6.com) bernama Sunny Pang). Soal kenapa kelompok pimpinan Mr. Lee ini mencari-cari Ishmael dan bagaimana cara Ishmael membasmi kroco kroco nya Mr. Lee menjadi hidangan utama film “Headshot”.  Jadi, kalo film ini diibaratkan sebagai acara gala dinner, adegan gebuk-gebukannya ini adalah hidangan kambing gulingnya.

So what do I think about the movie? Sebenernya di dalam kalimat saya tadi ada kata sakti yang menjadi kunci berhasil atau tidaknya tontonan ini. Kata itu adalah: “Cara” atau “How”. If you saw how meticulously awesome the fight choreography is in this movie, you’d know that this movie delivers what it promised to do. Sutradara film ini, The Mo Brothers, menurut saya, memiliki mata dan tangan yang terampil dalam mengeksekusi berbagai adegan close range, hand to hand (or hand to whatever, really) fighting yang pasti maha sulit untuk dipersiapkan, di-shoot, dan di-edit (untuk siapapun yang ngedit film ini, saya turut bersimpati pada Anda). Tapi apakah adengan fighting seperti itu merupakan hal yang baru bagi penonton yang awam dunia bela diri seperti saya? If you have watched all of those awesome hand-to-hand bone-to-bone/jaw/head/celurit/parang combats in two “The Raid” movies, doesn’t it seems like you’ve seen it all? Perhaps. Tapi itulah uniknya sebuah karya seni. Lo bisa aja nge sketch ulang lukisan Monalisa dengan tangan lo sendiri. Kalau lo terampil dan hasil sketching lo bagus, siapapun yang ngeliat secara jujur pasti akan mengapresiasi. Ini yang terjadi pada gue setelah nonton “Headshot.” It is as if the filmmakers of this movie are sketching their art based on paintings of the two The Raid movies, but then they cleverly add their own colors. Karena The Mo Brothers punya enough talent and skills, film ini jadi sangat, and I repeat, sangat well made dan bagi yang menikmati dwilogi The Raid, sangat menghibur. Semua aspek teknis di film ini (to my untrained eye) dieksekusi sangat baik. The fighting is lighting fast and looks deadly. The editing is fluid enough to not make us lost or confused as to who is fighting (and hurting who). The music sounds incredible, constantly thumping, intensifying each action scene.  Selain bagian teknis, The Mo Brothers secara mengejutkan juga berhasil membuat saya percaya bahwa Iko Uwais dan Chelsea Islan bisa saling jatuh cinta. Yep. Film ini punya romantic arc yang dijaga dari awal sampai akhir oleh pembuatnya untuk membedakannya dari The Raid. Menurut saya, percobaan ini berhasil. Kalau adegan baku hantam di film ini merupakan hidangan kambing guling, maka romantika mini di dalam “Headshot” ini ibarat obat penurun kolesterolnya. Bikin hati tenang setelah (nyaris) jantungan.




Tentunya film ini juga nggak akan enjoyable kalo pemain utamanya nggak bisa “memimpin layar”. Untungnya The Mo Brothers punya Iko Uwais. His physicality and martial arts skills are imposing enough for the viewers to trust that he will lead us through adrenaline-infused action scenes with only a couple of bruises, broken bones, death by chopsticks, and bullet to the face.  But he seems humble, heroic and selfless enough for us to be rooting for him. Saya juga, entah kenapa, merasa bahwa The Mo Brothers sangat mengetahui kekuatan (dan kelemahan) aktor utamanya di depan kamera. What Mr. Uwais lacks in dramatic acting ability, he makes up for strong screen presence dan dari cara film ini di-edit, The Mo Brothers sangat mengakomodasi hal ini (dramatic scenes are kept short and sweet, while the fighting scenes are neverending. All the better for it). Chelsea Islan bermain cukupan sebagai love interest, tapi tetap di mata saya, terlalu muda. Yang saya sedikit kecewa sebenarnya aktris favorit saya (dan maunya saya, favorit semua orang), Julie Estelle. Entah kenapa, berbeda dengan aktingnya yang menurut saya bagus di film “Rumah Dara” (2009, disutradari The Mo Brothers juga) dan “Selamanya” (film tahun 2007 yang menurut saya bagus, tapi pasti yang lain bilang cheessy), jadi agak kaku di sini. Mungkin sebagai penggemar, saya harus mengakui bahwa Julie merupakan aktor yang excel in physical acting, namun runs into trouble when it comes to delivery of dialogue (intonasi suara Julie dalam men-deliver dialog tidak sekaya aktris seangkatannya seperti Acha Septriasa misalnya). So, naturally, I rejoice when I heard her next project will also be an action movie, playing to her strength, directed once again by the Mo Brothers, further adds to my belief that The Mo Brothers really knows their actors’ strength. Sekarang saya menganggap Julie Estelle itu seperti Sigourney Weaver Indoensia in the making. And as movie nerds know, this is a praise of the highest order.

Go Julie!!

Eh, ini lagi review Headshot” ya? Sori, sori. Its good. Go watch it in theater.

And, go Julie!!


18 December 2016


Dimas