Sabtu, 06 November 2010

The Children


The Children Official Trailer

Semua yang demen nonton film pasti sadar bahwa ada beberapa hal yang dengan sengaja, sangat jarang atau bahkan tidak pernah ditunjukkan di dalam sebuah film. Mungkin karena, kalau hal tersebut ditunjukkan, bisa membuat film yang bersangkutan kehilangan greget, dicap konyol atau bahkan dianggap amoral. Contoh, tidak pernah ada kejadian seorang pendekar atau tentara salah tusuk atau salah tembak temennya sendiri dalam adegan peperangan yang serba cepat. Tidak pernah ada yang menunjukkan bagaimana Supermen mengancingkan kemejanya kembali (yang pasti udah jebol karena dirobek paksa) ketika ingin kembali jadi Clark setelah menyelamatkan dunia dari serangan misil-nya Lex Luthor. Tidak pernah ada adegan memperlihatkan Tarzan dan pasukan Sparta melakukan MCK. Tidak pernah juga ada adegan pembunuh berantai menelepon ke rumah korban tapi diangkat oleh anak TK atau pembantu (kecuali pembantunya remaja, cantik dan jago jerit-jerit). DAN, tidak pernah ada film mainstream yang secara eksplisit menunjukkan orang dewasa melukai anak-anak usia playgroup. “Prinsip Sopan Santun Film” yang terakhir saya sebut ini, akhirnya ditumbangkan oleh sebuah film inggris berjudul The Children.
 
The Children memiliki plot yang sekilas serupa dengan film tentang bocah-bocah uedhyan yang demen bikin setres orangtuanya (contoh The Omen, Children of the Corn, Village of the Damned, Orphan, sampai Dora the Exporer— lagian kerjaannya kelayapan ke hutan mulu sih. Gimana orangtuanya gak deg-degan coba). Namun sutradaranya membuat film ini berjalan dua kali lebih jauh, melompati pakem yang bahkan haram hukumnya untuk dilewati film-film horor kelas ekstrim sekalipun.

Film ini dimulai dengan berkumpulnya dua keluarga di sebuah rumah/vila di tengah hutan bersalju untuk merayakan tahun baru bersama. Masing-masing keluarga terdiri dari suami istri dengan anak-anak mereka yang kebanyakan usia playgroup sampai SD. Anak yang paling besar adalah seorang remaja putri bergaya emo sudah memasuki usia SMU. Sang remaja putri, sebagaimana anak-anak gaoel seusianya, tidak menyukai acara kumpul-kumpul keluarga seperti ini. Si putri lebih suka pergi partay dengan teman-temannya daripada bercengkerama dengan sepupu-sepupu hiperaktif yang tampaknya terlalu banyak menegak Kratingdaeng. Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur dan Cinta Fitri season 6 sudah semakin ngawur. Sang remaja tidak punya pilihan lain selain menggerutu dan sms an dengan temannya, berharap bisa dijemput keesokan harinya. Sayang, impiannya untuk bisa gila-gilaan di pesta terpaksa kelelep di Kali Sunter karena ternyata apa yang terjadi di dalam villa bersalju itu benar-benar jauh lebih sarap daripada konser trio maut Julia Perez, Aura Kasih dan Bang Haji Rhoma sekalipun.

Kegilaan itu, sebagaimana sudah disinyalkan dari judul filmnya, bermula dari anak-anak Teri Asin (Terlalu Imut dan Asli ngegemeSin) yang tiba-tiba saja berubah menjadi lebih liar daripada banteng rodeo. Dalam hitungan jam setelah berkumpul di villa tersebut, satu per satu anak-anak mulai membuat kacau suasana dengan menjerit-jerit, menangis, dan meronta-ronta. Para orangtua, sebagaimana umumnya orang tua, menganggap bahwa buah hati mereka hanya bersikap seperti layaknya anak-anak (yaitu..well.. senang menjerit, menangis dan meronta). Namun kemudian anak-anak tersebut mulai menyakiti. Kemudian melukai. Dan kemudian membunuh.

Sampai di sini, anda pasti sudah tahu hal-hal tabu macam apa yang ditunjukkan dalam The Children. Adegan anak-anak menyakiti orang dewasa mungkin sudah sering anda lihat di berbagai film horor (seperti the Omen, the Exorcist, Orphan, Power Puff Girls sampai Bayi Ajaib) tapi kemungkinan anda belum pernah melihat apa yang terjadi jika para orangtua membalas perbuatan anak-anak mereka sendiri dalam keadaan terdesak. Pertanyaan mengerikan inilah yang dilempar oleh Tom Shankland, sutradara film The Children, kepada penonton: Apakah anda tega menyakiti buah hati anda sendiri jika mereka dengan sengaja membahayakan nyawa anda?

Di dalam film ini, pertanyaan di atas dijawab dengan memperlihatkan berbagai adegan, salah satunya adegan dimana seorang ibu, yang benar-benar dalam keadaan terluka dan terpojok, tidak mampu (atau tidak mau) membela dirinya saat sekumpulan anak berjalan mendekat sambil menghunuskan pisau. Atau betapa para orangtua merasa dirinya bagai monster ketika mereka benar-benar menyakiti anak-anak mereka. Film The Children ini berulangkali membuat saya meremas mulut saya, mencegahnya supaya tidak jatuh menganga, bukan karena digarap secara eksploitatif, murahan dan hanya mengejar shock value (as if the director is saying: “Look i’m cutting edge artist, I break boundaries!”). Sebaliknya, film ini digarap dengan skillful, dan penuh gaya (ada beberapa shot-shot keren yang membuat penonton merasa melihat adegan luar biasa sadis, yang ternyata—jika ditonton ulang—adegan luar biasa sadis itu tidak pernah diperlihatkan). Hal ini yang juga dijadikan senjata oleh Tom Shankland, sang sutradara. Dia tahu betapa tidak nyamannya penonton jika ada anak-anak kecil dimasukkan ke dalam film horor. Dia tahu bahwa kita (penonton) punya batas toleransi yang minim terhadap adegan kekerasan terhadap anak-anak. Dan, di dalam film ini, ketika tiba saatnya para orangtua untuk membela diri, penonton (atau setidaknya saya) sudah dibuat begitu miris dengan apa yang akan terjadi. It’s like we knew this moment will come. We just didn’t think the director would dare to put it on screen. And then he does.

Ada beberapa sentuhan kecil yang turut menaikkan tensi film The Children. Tokoh anak-anak yang secara mendadak berubah anarkis di film ini diceritakan tetap merupakan anak-anak. Ini berarti mereka sebenarnya memiliki kekuatan setara anak-anak normal lainnya. Mereka bukan personifikasi setan, iblis ataupun babi ngepet—yang seringkali dipergunakan sebagai justifikasi untuk memusnahkan mereka di film-film lain—melainkan “hanya” sekumpulan anak-anak biasa yang tampaknya terserang suatu penyakit yang membuat mereka menggila (film ini tidak pernah menjelaskan mengenai apa yang sebenarnya yang menyerang anak-anak tersebut, yang menurut saya malah menaikkan aura “What the F*ck is Going on” yang menyelimuti film ini).

Akhir kata, saya angkat topi untuk sang sutradara, bukan karena saya menyukai topik atau isu yang dia angkat, tapi karena, sebagai penggemar film bergenre seperti ini, saya senang melihat sineas yang berani menggodok ide baru yang—terus terang, agak gila—seperti ini dan menggarapnya dengan baik dan enak dinikmati (untuk penggemar horor). Saya akan mencatat nama Tom Shankland dalam daftar must watch director di kepala saya dan menunggu film apalagi yang akan dihasilkannya setelah ini. Seorang sutradara Indonesia (yang bisa anda follow twitter-nya) mengatakan kurang lebih seperti ini (very loose quote): “Sebuah premis yang menarik adalah premis yang menggambarkan tokoh-tokoh utamanya, keadaan apa yang menimpa mereka, dan bagaimana sulitnya mereka terbebas dari keadaan tersebut, semuanya terangkum dalam satu kalimat. Kalau prinsip ini diterapkan pada film The Children, menurut saya film ini memiliki premis film horor yang dahsyat.
 

Sabtu, 26 Juni 2010

LEGENDA SUNDEL BOLONG



Legenda Sundel Bolong Official Trailer

PROLOG: Ulasan ini saya buat pada tahun 2007 menjelang lebaran. Baru saja ketemu dan langsung saya upload sebelum keburu hilang. Mohon maaf kalau bahasa-nya masih belon nyekolah. Maklumlah..saat itu saya masih belum bisa bahasa Indonesia (bisanya bahasa Swahili). Anyway, enjoy.  
Sedikit intermezo: Saya yakin seyakin-yakinnya, buat orang yang otaknya waras, pasti langsung malingin muka ato minimal istigfar waktu ngeliat poster film berjudul "Legenda Sundel Bolong". Bukan lantaran takut atopun ngeri, tapi lebih kepada "Ya Oloh Gusti..ternyata industri film kita sudah kena kiamat sugro.." Gua termasuk orang yang menyayangkan "parade horor" di waktu Lebaran ini. Gimana enggak, hari raya yang mestinya dipenuhi tontonan yang membangkitkan silahturahmi dan persodaraan malah dipadati dengan tontonan yang memicu silahturahmi (dengan golok) dan persodaraan (dengan setan). Di Lebaran kali ini kita dijejelin Kuntilanak, Pocong, Jelangkung 3 dan sekarang...Sundel Bolong. Dan gua belon menghitung jurik dan demit lainnya yang udah ngantri pengen maen pelem bulan depan. Heran gua. Perasaan di negara barat sana, kalo lagi libur Christmas, film-filmnya didomonasi sama film keluarga. Home Alone lah, Santa Claus lah, Narnia lah... Pokoknya film-film untuk keluarga yang bisa bikin penonton mendapat pencerahan setelah keluar bioskop. Beda dengan libur Lebaran di Indonesia yang film-filmnya bisa ngebuat satu keluarga kesurupan semua sepulang dari bioskop. Balik lagi ke Legenda Sundel Bolong, ini adalah film horor kedua dari Hanung Bramantyo, setelah pernah membuat film horor Lentera Merah, yang sama seremnya sama bangke tokek. Jangan dulu protes sama judulnya yang ndeso banget atopun sama posternya yang mirip film-film kelas Buaran. Judulnya menurut gua sudah cukup representatif, walaupun memang kurang elegan (alah, judul2 film horor barat kayak "Vampires" sama "Ginger Snaps" kalo di-Indonesiain artinya kan "Kalong" dan "Jahe Gila". Kampung juga kan?). Justru menurut gua, judul "Sundel Bolong" udah bisa langsung menyentuh rasa ke-Indonesiaan kita. Buat orang yang lahir dan besar di Indonesia, walopun orang gedongan sekalipun, pasti udah pernah mendengar tentang setan awewe berpunggung seksi tersebut. Jadinya pasti udah langsung familiar. Nah, sekarang pertanyaannya, apakah isi filmnya udah cukup me-representasikan sosok setan yang kita kenal sejak masih nyusu emak??
Jawabannya adalah
IYA.
BANGET
SUMPAH.

Jangan salah, gua sangat mengagumi film Sundel Bolong versi Suzzana. Pas nonton film Malem Satu Suro di TV, gua sampe mules-mules saking takutnya. Kelar nonton, gua langsung parno se-parno parno nya, kayak ada orang yang mengintai pengen ngebunuh gua. Iya. Setakut itu. Tapi pas udah rada gedean (baca: mahasiswa) dan gua nonton film itu lagi, yang ada gua malah ngikik-ngikik kayak kuntilanak. Terutama pada adegan di mana Suketi (Yang Mulia Ratu Setan Suzzana) berubah jadi Sundel Bolong gara-gara pakunya dicabut, trus anaknya yang bernama Rio (yang scarily, identik sama nama gua) pulang sekolah dan ngeliat kondisi ibunya. Si Rio, sebagaimana anak-anak waras dan cerdas lainnya, langsung menelepon bapaknya dan terjadilah percakapan yang harusnya masuk ke dalam "Movies' Greatest Dialogue":
Kring..kriiiinggg...
Bapak: Halo? Rio??
Rio: Papaa...Papah cepat pulang Paaa...
Bapak: Hah? Ada apa Rio??
Rio: Mama, Pa... Mama... Mama jadi setaan..
Bapak: HAH?
Rio: Betul Pa. Mama...Mama jadi setaaan
Bapak: Ah, coba..coba.. Papa mau bicara sama Bibi.
Sang babysitter yang disinyalir lebih waras pun akhirnya mengambil telepon. Tapi ternyata dialognya sama aja.
Bibi: Pak? Betul Pak. Ibu jadi setan...
Bapak: Aih, cape dueeeh Coba sini, saya mau bicara sama ibu
Bibi memberikan telepon pada ibu.
Bapak: Halo Mama?
Ibu: Betul Paa... Saya jadi setaan..
 (yang ini becanda).

Tapi aside from the high cheesse factor, gua tetep mengingat Malem Satu Suro (dan film-film Suzzana lainnya) sebagai film laknat yang sempat ngebuat gua dehidrasi sehabis nonton. Dan guess what? Gua mendapatkan hal yang serupa setelah nonton Legenda Sundel Bolong buatan Hanung. Dari mulai pemilihan setting yang tahun 1965, di pedesaan Jawa Barat, gua udah langsung punya feel yang bagus akan film ini. Feel nya kena banget. Indonesia banget. Ndeso banget. Persis kayak film-film horor lokal jaman dulu.

Ceritanya tentang Imah (Jian Batari) penari ronggeng asal Banjar dan Sarpah (Baim) seorang pemetik teh yang menjalin kasih dan menikah, hingga akhirnya memutuskan untuk bekerja pada tuan tanah bernama Danapati (Tio Pakusadewo). Yang tidak diketahui Sarpa adalah, ternyata Danapati si tuan tanah ini adalah seorang womanizer alias demen cewek (kalo demen betere namanya energizer.. haha. Garing, I know). Jadi dengan akal bulusnya, dikirimlah Sarpa ke Sumatra disuruh buat ngambil bibit teh di sana. Sementara si Sarap--eh Sarpa pergi, Danapati si womanizer itu malah menodai kemurnian Imah, dipake dan disiksa sampe bengkak bengkak. Gak lama kemudian, di desa yang tadinya adem ayem itu, tiba-tiba aja muncul teror dari sosok wanita misterius penari ronggeng yang dikenal sebagai...SARAS 008. Ya enggaklah. Sundel Bolong.

Yang bikin gua salut dengan film ini adalah kemauan sutradara dan kru nya dalam bekerja pol polan dan gak nyari shotcut alias jalan gampang. Skenarionya bisa aja di set kayak horor generik kebanyakan yaitu bersetting di jakarta, dan diisi oleh karakter-karakter modern (mostly anak-anak muda cakep tapi rada-rada bloon) yang ceritanya adalah: terjebak di rumah tua, hotel, atau apalah, dan akhirnya ketemu sama Sundel Bolong. Jadilah film Legenda Sundel Bolong. Tapi ternyata Hanung memilih cara yang perlu lebih banyak usaha dan keringet. Ceritanya dibikin di tahun 1965 (PKI?). Settingnya dibikin di Jawa Barat dengan lanskap kebun teh dan kampung. Alhasil, casing filmnya jadi beda banget sama film horor kebanyakan. "Rasa horor" nya bisa langsung masuk tanpa mesti kebanyakan ngomong dan explanation. Emang dari sononya alam kita emang keliatan (dan terasa) mistis bukan? Nama Sundel Bolong yang ndeso banget itu pun tidak lagi menjadi nama yang "norak" di alam filmnya, tapi kembali menjadi suatu makhluk yang "deket", "ada" dan "bikin ngeri".

Filmnya sendiri bukan tanpa kelemahan. Sama kayak film horor lain (film Hollywood juga), film ini punya banyak koleksi "adegan pelecehan logika" dan storyline yang "Tiba-tiba-Kok-Selese-Terus-Gimana-Dong-Akhirnya" dan juga adegan "pembunuhan" oleh hantu yang tetep aja cupu (kamera bergerak ke muka orang yang lagi jerit-jerit, lalu blackout. Semua film horor lokal doyan banget pake yang begituan. Hemat efek dan hemat waktu kali ye). Tapi bagi gua, saat nonton film ini, semua itu gak jadi masalah. Gua terlanjur terhipnotis dengan gambar-gambar yang disajikan. Gua gak protes juga pada gaya dialog tokoh-tokohnya yang kadang-kadang "Nyunda Pisan" kadang-kadang "EYD". Gua merasa Hanung telah berhasil membangun sebuah alam, dimana semuanya mungkin dan sah-sah aja terjadi. 
      
Kesimpulannya, Legenda Sundel Bolong adalah sebuah tontonan horor lokal yang berhasil. Berhasil bikin nutup kuping, berhasil bikin nganga dan berhasil bikin gua ngerasa uneasy setelah keluar dari bioskop yang gelap. Tahun ini, Legenda Sundel Bolong adalah THE horror movie to watch. Along with Kuntilanak 2 karya Rizal Mantovani (tentu saja dengan kadar cheesse yang lebih banyak daripada martabak manis spesial, tapi I couldn't help it. Kuntilanak 2 is also fun to watch). Tapi gua tetap menempatkan Sundel Bolong di posisi juara.

Akhirnya Malem Satu Suro punya tandingan.

EMAK INGIN NAIK HAJI


Emak Ingin Naik Haji Official Trailer

Peribahasa ‘Mencari jarum di tumpukan jerami’ seringkali diartikan sebagai kegiatan yang amat sulit dikerjakan (atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa gaulnya Tom Cruise, istilahnya Mission Impossible). Tapi terkadang, pencarian yang susah payah dapat juga berbuah hasil. Okelah, selama merogoh rogoh tumpukan jerami anda kemungkinan hanya bisa menemukan bekicot, uler sawah, sampai kotoran kebo. Tapi bukan tidak mungkin anda bisa menemukan: bekicot emas, uler sawah emas, dan kotoran kebo emas (Udah nggak usah protes. Saya yakin kalo beneran pada nemu, pasti langsung jumpalitan. Digigit uler).
 
Inilah yang saya rasakan saat saya kembali menemukan film-film yang dulu saya lewatkan. Beberapa memang pantas dilewatkan atau memang harusnya dilewatkan (e.g. Transformers 2, Remember Me (filmnya Robert Pattinson), sampai Mati Suri:Mati tak Cukup Sekali (mati kok minta nambah). Tapi beberapa film lainnya seperti Merantau, Cin(t)a, dan Pasir Berbisik saya rasa sangat patut disaksikan bersama-sama di bioskop.
Dan bagi saya, film Emak Ingin Naik Haji ini akan sangat lebih baik kalau saya tonton sendirian di rumah. Karena kalau saya nonton di bioskop, muka saya pasti bakal terlihat seperti habis digerojokin bawang merah sekilo. Rasanya mata ini cacingan, pengen kedip-kedip mulu.
 
Fokus lagi ke Emak Ingin Naik Haji. Film ini memang sudah lama saya incar, bahkan saat masih diputar di bioskop. Sayang, saat ada kesempatan nonton, filmnya mendadak saja hilang seperti disulap. Jadilah, begitu DVD nya keluar saya langsung beli dan menonton di komputer. Sembilan puluh menit kemudian, rasanya saya terserang bengek stadium 1.
 
Cerita Emak Ingin Naik Haji ini berpusat pada seorang wanita lanjut berusia 61 tahun yang biasa dipanggil Emak (diperankan oleh Ibu Aty Kanser) yang bermimpi suatu hari nanti bisa berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji. Mimpi wanita tua ini cukup berat untuk direalisasikan mengingat biaya naik Haji yang tidak murah dan keadaan ekonominya yang dibawah rata-rata. Emak dibuat semakin mendamba saat dilihatnya keluarga pengusaha/ustad nan elit yang tinggal tak jauh dari rumahnya berkali kali Umroh dan naik Haji. Adalah sang putra bernama Zein (diperankan oleh Reza Rahadian) yang berusaha dengan segala cara untuk mewujudkan impian Emak berangkat ke Mekkah, dengan segala keterbatasan yang ada. Walaupun itu baru sebatas menjual lukisan untuk membantu Emak menabung dan menghadiahkan gambar Ka’bah untuk dipandangi Emak-nya setiap waktu. Sang Emak tampaknya begitu senang sampai-sampai ia berucap:
 
“Raga Emak mungkin nggak mampu buat melewati samudra yang luas begitu untuk pergi ke Tanah Suci. Tapi Emak yakin, Tuhan pasti tahu. Hati Emak udah lama ada di situ..”
Film ini, berdasarkan credit title-nya diangkat dari sebuah cerita pendek. Hal ini memang terlihat dari cerita intinya yang sungguh sederhana, dan fokus yang sebagian besar dikhususkan pada satu sampai dua tokoh utama. Memang ada beberapa tokoh lain dan sub-plot (cerita sampingan) yang turut bergulir mengisi durasi, tapi tidak mengalihkan penonton dari isu utama cerita: mimpi Emak untuk naik haji.
 
Kesederhanaan film ini memberikan ruang yang luas kepada para pemain utamanya untuk membangun hubungan yang sangat ber-kimia (alias ber-chemistry) sepanjang film. Tokoh Emak dan putranya Zein, tampak benar-benar mempraktekan jurus 3M (Bukan. Bukan Malu Malu Meong), tapi menyayangi, menghargai dan menghormati. Salut kepada Ibu Aty Kanser yang memerankan tokoh Emak tanpa harus terkena sindrom Bengis (Bentar Bentar Nangis). Tokoh Emak, walaupun dikisahkan sangat mendamba melihat Ka’bah, tampak sedikit cuek, lugas dan tegar. Hal inilah yang membuat penonton (baca: gua) langsung kelilipan saat melihat tokoh Emak akhirnya diam-diam menitikkan air mata. Menyaksikan orang tegar menangis selalu membawa emotional impact yang lebih kuat ketimbang melihat orang—yang memang dari sononya cengeng—sesenggukan.
Salut saya juga saya hantarkan pada Reza Rahadian, pemeran Zein di film ini. Sudah tiga film yang dia bintangi (termasuk film ini) yang saya tonton. Dua diantaranya adalah Hari untuk Amanda dan Alangkah Lucunya Negeri Ini. Semua filmnya bagus (khusus untuk Alangkah Lucunya Negeri Ini, saya sematkan predikat Susu Anget (Suwer Sumpe Awesome Banget). Penampilan dia pun selalu terlihat luar biasa natural. Menonton Reza di sini membuat saya merasa memiliki kemampuan telepati. Semua emosi terbaca dari mukanya. Bahkan saat tokoh Zein ini cuma duduk di atas kursi, tanpa bicara apa-apa. Film ini membuat saya percaya bahwa orang yang bernama Reza Rahadian ini adalah salah satu pelakon muda terbaik di Indonesia saat ini.

Senang asanya melihat sebuah film Indonesia bermuatan religi yang benar-benar mengangkat topik yang substantial dan relevan dengan agama yang dimaksud. Saat film bermuatan religi lainnya mmemilih untuk bercerita tentang konflik rebut-rebutan cowok dan poligami dengan setting otentik nan mahal di Mesir, film Emak Ingin Naik Haji memilih untuk bercerita tentang hubungan umat dengan Penciptanya, hubungan anak dengan Emak-nya.
 
Film ini sedikit banyak mengingatkan saya pada film keluaran tahun 2004 berjudul Le Grand Voyage, sebuah film Perancis yang mengisahkan tentang seorang pemuda yang harus rela mengendarai mobil sejauh ribuan kilometer untuk mengantarkan sang ayah naik Haji ke Mekkah. Film Perancis ini juga mayoritas diisi dengan dialog dan interaksi yang intim antara orangtua dan anak. Membuat penonton (baca: gua) begitu peduli dengan apapun yang dilakukan tokoh-tokohnya. Sesuatu yang sulit saya rasakan saat saya menonton pelakon Indonesia didandani bak orang arab dan mondar mandir di depan gurun dan piramid dengan tujuan pamer lokasi.
 
Singkat kata, menurut saya, film Emak Ingin Naik Haji ini memang bagaikan jarum emas di antara tumpukan jerami. Kehadirannya begitu tidak mencolok sehingga begitu mudah terlewat. Namun begitu anda menemukannya, anda akan bertanya-tanya kenapa harta karun ini bisa sampai luput dari perhatian anda (saya mungkin bicara seperti ini karena saya muslim, tapi jujur, menurut saya film ini memang patut ditonton. Apapun kitab yang anda baca).

THE INNOCENTS

 
 
The Innocents Official Trailer

Curhat mode on: Saya tidak tahu dengan anda, tapi akhir-akhir ini saya merasa malas untuk menonton film-film baru. Saya belum ada ketertarikan untuk nonton film Bentrokan Pecahan Band Peterpan (Clash of the Titans), Yth. John (Dear John), Tulang Ca’em (Lovely Bones) atau bahkan film festival berjudul Kojang (Ko’id di Ranjang) itu. Saya merasa film-film sekarang—terutama film Hollywood, amat terlalu bersandar pada teknologi sehingga yang lainnya dinomor duakan, terutama untuk cerita, naskah, karakter, sampai akting. Singkatnya, saya ngeliat film-film belakangan ini seperti produk susu bubuk. Nggak usah susah-susah meres dan kejar-kejaran sama sapi. Tinggal tambah air panas, udek-udek dan voila! Jadilah minuman lima sempurna.

Inilah yang membuat gua mulai memburu film-film non Hollywood. Saya akui, bahwa saya dari dulu (dan mungkin sampai sekarang) masih terjangkit penyakit Hollywood Itis dimana film-film yang saya tonton nyaris semuanya keluaran pabrik film Oom Sam tersebut. Jadi bayangkan betapa terkaget-kagetnya waktu saya nonton 8 Women (film Prancis, part musical, part murder mistery), Ils (film horror Prancis yang di-plagiat habis-habisan dalam film-nya Liv Tyler, The Strangers) atau the Diving Bell and the Butterfly (film drama Prancis (btw kok Prancis mulu ya?) tentang orang yang lumpuh total, tapi sanggup nulis buku). Saya ngerasa bullet points mengenai sebuah tontonan yang udah terpatri di otak saya sejak pra aqil baliq, diacak-acak dengan sentosa. Tiba-tiba poin bertuliskan “cewek sekseh”, “ledakan setara seratus juta tabung elpiji” dan “makhluk-makhluk aneh bin astojim ciptaan Windows dan Mac” ilang semua kelelep di empang. Suddenly, a story, characters and craftsmanship took center stage. Lalu bagaimana dengan film berjudul The Innocents (1961), yang gua temukan tanpa sengaja saat sedang um..dengan tanpa sengaja mencari film-film bajakan di megaupload, hotfile, dan rapidshare.com?

Pertama-tama, saya ingin menginformasikan beberapa hal tentang film The Innocents ini. Menurut situs imdb, genre film ini adalah horror. Rilisnya sekitar tahun 1961. Enyahkan segala harapan untuk melihat tokoh cewek goblok berbikini yang jejeritan dikejar lelembut. Di sini tokoh utamanya pake gaun ketutup semua, sanggulan pula. Gambarnya aja masih gambar Oreo (alias item putih). Tapi tolong jangan keburu ilfil dengan fakta bahwa gambarnya item putih. Film-nya Mbah Alfred Hitchcock yang judulnya Psycho (1960) juga item putih. Tapi toh pengaruhnya masih kerasa sampe sekarang, di generasi para penikmat 3 Dimensi ini. Pertanyaannya adalah, apakah film zama pre-historik yang ngaku-ngaku sebagai film horror ini sanggup nakut-nakutin kita yang sudah kenyang digerojokin film-film macam Paranormal Activity, The Sixth Sense, The Others dan Rumah Pondok Indah?

Mari lihat dulu sinopsisnya. Seorang mbak-mbak cakep nan lugu bernama Miss Giddens (diperankan oleh aktris Deborah Kerr) mendapatkan tawaran untuk menjadi governess (semacam pengurus anak-anak, job desk-nya mencakup menjadi guru privat anak-anak di rumah) kepada sepasang anak-anak, keponakan dari seorang pria kaya raya yang tidak punya kepedulian secara mental dan emosional untuk mengurus keponakannya sendiri. Miss Giddens menerima pekerjaan tersebut. Mbak-mbak cantik nan lugu ini pun dibawa naik kreta kuda menuju sebuah kastil besar di daerah pedesaan yang diberi nama Bly House. Di dalam rumah tersebut dia berkenalan dengan Mrs. Grose, pelayan tua yang sudah sejak dulu setia mengurusi rumah dan menemani kedua bocah cilik tersebut. Bocah-bocah yang dimaksud di sini bernama Miles dan Flora. Pada saat kita pertama kali berkenalan dengan mereka, Miles dan Flora tampak seperti tipikal anak-anak di iklan Cerebrovit, Supradyn dan Inzana. Keduanya tampak begitu aktif, sehat, ceria dan bebas polio. Seperti syair lagunya Betharia Sonata, “Mulanya biasa sajaa..” Miss Giddens merasa dia akan menjalankan pekerjaannya sesuai dengan job desk yang diinformasikan padanya. Namun, seperti film horror pada umumnya, keadaan yang tadinya normal-normal saja berubah menjadi…well…paranormal.

Miss Giddens mulai melihat sosok pasangan pria dan wanita yang bertampang dingin, mondar-mandir di dalam dan di luar rumah. Baik di malam hari maupun tengah hari sat lohor. Dalam ketakutan, governess jelita tersebut berusaha mengorek-ngorek sejarah kastil yang ia tempati dari Mrs. Grose sang pelayan tua. Rahasia apa yang akhirnya diungkapkan oleh Mrs. Grose merupakan sebuah peristiwa skandal yang memberikan nilai ironis pada judul film ini sendiri.

Agak menarik memperhatikan para filmmaker men-definisikan hantu dalam film-film mereka. Film-film seperti The Ring dan The Grudge sepertinya mendefinisikan hantu sebagai awewe berambut gondrong yang eksis khusus untuk membalas dendam. Blair Witch Project dan Paranormal Activity di lain pihak, memandang hantu (dan/atau penyihir) sebagai calon bintang-bintang potensial di program reality show. Filmnya Guilermo Del Toro: The Devil’s Backbone dan M. Night Shyamalan dalam The Sixth Sense berpendapat bahwa hantu adalah sosok-sosok yang menyedihkan dan butuh pertolongan. Sedangkan The Shining (Stanley Kubrick) beropini bahwa hantu adalah manifestasi dari kebiasaan buruk anda sendiri (Oom Kubrick seems to think that alcohol can make you lose your mind and urge you to chop your cute kid and caring wife to pieces with an axe). Bagaimana dengan The Innocents?

Saya menangkap bahwa Jack Clayton—sutradara film ini—sepertinya tidak ada hubungan darah dengan Michael Clayton (filmnya George Clooney), berpendapat bahwa “hantu” adalah suatu “sejarah yang buruk”. Yaitu cerita tentang suatu peristiwa yang terjadi pada suatu masa, di suatu tempat, yang tidak kita alami atau saksikan sendiri, namun hanya sempat mendengar dari penuturan orang lain. Inilah yang terjadi pada Miss Giddens. Wanita lugu yang baru pertama kali mendapatkan pekerjaan—sebagaimana dia katakan di awal-awal film—itu harus langsung memikul tidak saja sebuah tanggungjawab besar untuk mengurusi anak-anak hiperaktif di sebuah kastil seluas lapangan bola, namun juga harus tabah mendengar sejarah “kotor” yang menodai tempat itu sebelum kedatangannya. Miss Giddens, seperti halnya kita ketika mendengar cerita tentang suatu peristiwa yang “diluar norma”, menjadi begitu involved, begitu terpengaruh hingga dirinya mulai melihat “sejarah” dan “kisah-kisah kelam” tersebut berubah menjadi nyata dan “berwujud” di depan matanya sendiri. “Sejarah” itu berubah menjadi hantu.

Saya harus akui, film ini membuat saya merinding. Dan itu dilakukan oleh sutradaranya tanpa segala macam trik yang sudah sering digunakan di film-film horror jaman sekarang (e.g. musik yang tiba-tiba keras seolah komposer-nya ngamuk, tokoh yang kaget dicolek seseorang—yang ternyata “Eeh.. cuma tikus”, kucuran darah manusia yang luber bak sirop Tjampolay atau kamera dikocok-kocok biar filmnya keliatan “real”). Saya menilai The Innocents sebagai semurni-murninya film horror. Kita menjadi takut bukan karena musiknya yang memerintahkan kita untuk takut. Kita menjadi ngeri bukan karena ada pisau, golok atau parutan yang dilempar ke depan mata kita (after all, they don’t have 3D in the 60’s. Mungkin kalo beneran dilemparin, kameramennya yang kena). Kita ketakutan karena memang beneran cerita dan suasananya creepy. Tanpa sadar, kita benar-benar seperti berada di posisinya Miss Giddens saat Mrs. Grose, sang pelayan tua, pertama kali menguak kisah di balik kastil tersebut. Kita beneran ngerasa uneasy ketika kedua bocah yang keliatannya um..innocent itu mulai mendendangkan lagu, puisi dan pertanyaan-pertanyaan yang jauh melampaui usia mereka. Membuat anda bertanya-tanya: siapa yang mengajari mereka hal-hal seperti itu? Apakah mereka benar-benar “tidak berdosa”? Kenapa sang paman tampak tidak mau mengurusi mereka? Apakah mereka benar-benar anak-anak?

Tidak semua pertanyaan di atas dijawab oleh Jack Clayton—sutradaranya. Namun, seriously, film ini ditutup dengan adegan akhir yang sangat ambigu. Begitu ambigu-nya sampai saya mangap. Film tahun 1961 ini menyentuh begitu banyak hal dengar cara tersirat dan diam-diam (dan ada juga yang terang-terangan) yang—saya yakin—masih dianggap tabu pada jamannya. Judul film ini boleh saja The Innocents. Namun substansi-nya, tokohnya, perbuatan tokoh-tokohnya, mencerminkan kekerasan. Sutradaranya secara sneaky memasukkan aspek-aspek amoral tersebut dalam ceritanya sedemikian rupa sehingga nyaris tidak kelihatan. Namun picingkan mata anda sedikit, dan coba lihat gerak gerik setiap tokoh serta tindakan-tindakan mereka, dan anda akan bergumam “Omaigod.” Seperti melihat hantu.

We lay my love and I
Beneath the weeping Willow
But now alone I lie
O, Willow I die.
O, Willow I die.

(O Willow Waly—the children’s song from The Innocents)






THE COVE



The Cove Official Trailer

Ada alasannya kenapa Bumi kita ini 71% wilayahnya terendam oleh air. Salah satunya adalah untuk menyediakan “rumah” yang cukup besar bagi kumpulan makhluk hidup luar biasa yang nggak mungkin muat kalo diangkut ke darat. Mungkin juga untuk mengingatkan kita bahwa sebenarnya ada juga makhluk hidup lain yang teritori kekuasaannya jauh lebih luas daripada kita. Mereka ini adalah creatures from beyond the sea.
 
Tapi entah karena ngerasa terancam dengan eksistensi makhluk lain atau simply karena emang dari sononya udah bermental penjajah, manusia seringkali dengan sentosa berusaha dengan segala cara memporak-porandakan apapun yang dirasa lebih bagus, lebih kuat ataupun (mungkin) lebih sempurna daripada dirinya. Pohon lah ditebangin. Terumbu karang lah diancurin. Hutan lah dibakarin. Kasarnya, kita ini kayak bocah yang megang bublewrap. Bawaannya selalu pengen meletusin buble-nya satu-satu sampe ancur semua.
 
Inilah salah satu pandangan yang saya tangkap dari menonton the Cove, sebuah film dokumenter yang dibuat oleh sekumpulan filmmaker, aktivis lingkungan, dan pihak-pihak lain yang punya passion tinggi untuk menyelamatkan bumi dan makhluk hidup di dalamnya dari kepunahan. Lebih khususnya, melalui film ini mereka ingin menyelamatkan “quite possibly the smartest mammals that ever lived the earth—or the sea for that matter”, from extinction. Makhluk yang dimaksud ini adalah: Lumba-lumba.
 
Tema mengenai penyelamatan lumba-lumba inilah yang membuat saya langsung tertarik begitu pertama kali mendengar tentang keberadaan film ini. Saya selalu mengibaratkan bahwa lumba-lumba itu bagaikan siswa (atau siswi) paling perfect di sekolahnya. Bayangkan. Udah cantik, pintar, jago olahraga, jago kesenian (i.e. lumba-lumba responsif terhadap musik), heroik, pandai bergaul, udah gitu alim pula! Now, where the hell can you find a girl—uhm mammals—with qualities like that these days??
 
Anyway—pardon for the curcol. Kembali ke filmnya. Saya tidak pernah secara khusus menggemari film-film dokumenter. Entah kenapa, rasanya seperti nonton siaran berita versi dua jam. Tapi saya tetap memaksakan diri menonton film ini karena ketertarikan saya terhadap temanya. Bagaimana hasilnya?
 
The Cove mengabadikan seluruh keringat dan usaha keras seseorang bernama Richard O’Barry dalam menyelamatkan kumpulan lumba-lumba dari harpun dan tombak maut para nelayan di desa Taiji, Jepang. Di film ini kita diinformasikan bahwa O’Barry ini dulunya adalah trainer lumba-lumba untuk serial tivi populer, Flipper tahun 60’an. Konon, suatu peristiwa menyedihkan yang disaksikannya dahulu kala membuatnya sadar bahwa lumba-lumba—sebagaimanapun terlihat ceria dan semangatnya—tidak pernah suka berada dalam penangkaran, apalagi dijadikan tontonan wisata macam di SeaWorld atau Ancol. They eventually get stressed out. And they willingly and deliberately decide to die.
 
Didorong oleh keinginan untuk membebaskan kumpulan “Flipper” dari penjara lumba-lumba lah, O’Barry bersama sang sutradara, Louie Psihoyos, mengumpulkan teman-teman mereka, sesama aktivis, pekerja film, sampai penyelam professional ke Taiji, sebuah desa nelayan di Jepang, yang konon, merupakan pusat penangkapan dan perdagangan lumba-lumba di Jepang, or quite possibly, di dunia.
 
Membongkar sesuatu yang ditutup-tutupi memang terbukti sulit dan harus dilakukan secara paksa (kecuali kalau anda berada di film bokep). Aktivitas para filmmaker di sini juga mendapat terlihat mendapatkan segudang halangan, tidak cuma dari para nelayan di Taiji yang mendadak langsung jadi ganas setiap kali ngeliat handycam, tapi juga dari walikota setempat, polisi, sampai pemerintah pusat. Dengan berbekal semangat pemberontak dan pantang menyerah (or in other words, bandel), O’Barry dan kawan-kawan menerapkan sistem syuting gerilya, mengelabui watchdogs (in this case, nelayan-nelayan setempat) dan polisi demi membongkar pusat penangkapan dan perdagangan lumba-lumba di Taiji Jepang, terutama sekali di daerah laguna tersembunyi yang oleh pemerintah setempat ditutup untuk umum, dan dikenal dengan sebutan “The Cove”. Imaji dan adegan horror apa yang akhirnya terungkap di dalam laguna “The Cove” melalui kamera O’Barry dan kawan-kawan, saya rasa tidak mungkin dilupakan oleh siapapun yang menontonnya, atau membuatnya.
Yang membuat The Cove menjadi sangat menarik di mata saya adalah ketegangan yang dibangun. Yep. Ini film dokumenter, tapi berasa tegangnya layaknya menonton film-film heist atau perampokan bank. Jangan salah paham dulu. Film ini tidak “didisain” supaya jadi tegang, thus diminishing its realistic quality, tapi keadaan yang mengelilingi O’Barry c.s. memang mengharuskan mereka (dan penonton) menjadi serba hati-hati, dan selalu on the edge. Bayangkan, mereka harus kucing-kucingan dengan nelayan-nelayan Taiji yang selalu rajin jaga ronda. Ditambah lagi, mereka harus siap ber-alibi di depan polisi jika tidak mau masuk bui. Jadilah tim filmmaker jagoan kita di sini harus memutar otak dan melakukan segala cara (beberapa diantaranya mungkin bisa bikin kita geleng-geleng kepala) untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di dalam “The Cove”. Shortly, its like seeing a group of kids on a hunt, seeking for treasure guarded by pirates. Mengasyikan untuk dilihat. Bedanya, di sini konsekuensinya amat nyata. Dan fatal.
 
Di mata saya, baik O’Barry maupun sutradaranya, Louie Psihoyos, telah meneriakkan keluh kesah mereka dengan cara yang sangat asik, rebellious, tragis, dan menggugah. Their passion for dolphins and the earth in general, is infectious. Saya merinding melihat apa yang akhirnya dilakukan oleh O’Barry demi membuka mata dunia mengenai apa yang terjadi di “The Cove”. Film ini membuat saya kembali teringat, kenapa dulu saya sampai sempat berangan-angan menjadi filmmaker. Bahwa sebuah film, apapun genre-nya sebenarnya (dan seharusnya) merupakan sesuatu yang dipercayai oleh filmmaker-nya sendiri. Sesuatu yang patut ditiru oleh filmmaker kita. Saya berani tarohan disamber angin bahorok, kalo para pembuat film Horky (Horor-Boky) itu gak percaya sama peristiwa-peristiwa ilmiah seperti: diperkosa setan, kain kafan perawan dan hantu puncak datang bulan. Kalo ternyata mereka beneran percaya, saya mendingan pindah negara.
 
Terakhir kali, untuk film The Cove, saya angkat topi setinggi-tingginya. Saya tahu film ini dinominasikan di ajang Oscar 2010 untuk Best Documentary Feature. Menurut saya, dengan daftar nominasi Best Picture yang sudah di-expand hingga bisa memuat 10 nominator, seharusnya ada tempat bagi The Cove di kategori ini. It’s not merely a great documentary feature. It’s a great feature. Period.

RUMAH DARA











Rumah Dara/Macabre Official Trailer

Promosi itu macam bedak dempul pada muka. Ato kacamata item pada artis Hop Hop (itu mah minuman ya). Fungsinya: selain nutupin kekurangan buat yang minder, bisa juga bikin tambah keren. Ini jelas berguna sekali jika diaplikasikan pada film. Jika diibaratkan acara nikahan, promosi itu bagaikan kerudung penganten dan film sendiri adalah pengantennya. Sebelum kerudungnya dibuka dan ditonton oleh orang banyak, sebuah film tampak misterius dan bikin penasaran. Lama sebelum akhirnya saya nonton Rumah Dara, saya merasakan hal yang sama. Film ini tampak misterius dan bikin penasaran. Bagaimana wujudnya setelah kerudungnya dibuka?

Hold your horses (tahan Kuda Lumping Anda). Pertama-tama saya ingin cerita betapa saya menunggu-nunggu film ini dari tahun lalu. Dengan setia saya ikutin perkembangan film ini di-blog yang dibikin duo sutradaranya, the Mo Brothers (comprises Timo dan Kimo. Untung gak ditambah Komo. Ntar namanya jadi the MOO Brothers-Persodaraan Embek. Renyah. I know). Saya sempat ikutan prihatin waktu mereka mengeluh kurang dana. Saya pun ikutan gembira waktu mereka akhirnya mulai syuting. Baik bener ya gua. Padahal sodara aja bukan.

Itu tak lain tak bukan karena saya sangat impressed dengan karya Timo dan Kimo sebelumnya. Saya nonton film Bunian (yang saya tahu salah satu dari mereka ikut membuat film ini) tentang setan-setan Indonesia yang hijrah ke apartemen-apartemen di Sidney (Bunian artinya setan, di daerah Sumatera Barat). Film itu low budget. Amateurish. Tapi serem. Tapi tolong catat bahwa saya nonton film itu dengan berbagai pemakluman. Di kepala saya, saya mengingatkan diri saya: “Maklum atuh kalo cupu. Namanya juga film pelajar.” “Maklum lah kalo aktingnya sub standar. Namanya juga film coba-coba.” “Maklum lah kalo audio nya mati mendem. Bujetnya juga kecil.” Tapi yang membuat film ini stand out di benak saya adalah, sama dengan Jelangkung nya Rizal Mantovani dan Jose Purnomo, film ini kerasa semangat filmmaker nya. Lama kemudian saya menemukan bahwa the Mo Brothers membuat sebuah film pendek yang cukup bikin heboh di luar negeri. Judulnya Dara, tentang gadis ayu pemilik restoran yang ternyata nyambi kerja sebagai penjagal pria (entah kenapa saya langsung kepikiran Sisca Suitomo dari acara ibu-ibu, Aroma, sedang menyiapkan kornet daging manusia kepada grup Ibu-Ibu Kanibal. “Nah ibu-ibuu.. silahkan goreng semua bahan sampai berwarna kuning keemasan... Tiriskan... Sajikan bersama saus cabai. Kekekekeke.”). Anyway, setelah saya tonton film Dara di Antologi Takut: Faces of Fear, saya bisa simpulkan: Sudah bukan satnya lagi the Mo Brothers dikenakan “Ilmu Pemakluman” oleh penonton. Dua orang itu udah “jadi”. They’re ready for their professional feature film. Big time. (BTW, Dara itu tegang, lucu—in a satire way, dan mengerikan. In other word: Hebat.).

Atas dasar di ataslah saya menjadi begitu menggebu-gebu terhadap film Rumah Dara, yang disebut sebagai pengembangan lebih lanjut dari Dara. Saya punya firasat sutradaranya akan melakukan hal yang mengasyikan dengan film ini. Saya berpikir bahwa dua anak muda ini mengerti betul ketukan-ketukan film horror: harus tegang, mengasyikan—bukan bikin stress, dan bisa membuat kita nggak sadar dengan bolong-bolong ceritanya saking involved-nya kita selama masa putar film. Apakah nyatanya Rumah Dara seperti itu?

Tunggu sekedap. Baca dulu plot Rumah Dara: Sekelompok anak muda yang sedang dalam perjalanan dihadang oleh wanita cantik yang akhirnya membawa sekelompok anak muda ini ke dalam sebuah rumah yang dihuni oleh keluarga sakit jiwa, yang tampaknya sangat menjiwai lagu Maneater-nya Nelly Furtado secara denotasi, tersurat dan literally.

Kalo dilihat rangkumannya, film Rumah Dara memang mirip dengan Texas Chainsaw Massacre. Tapi saya tidak masalah. Semua plot film horror juga kebanyakan copy paste dari sesamanya. Tinggal gimana cara masaknya yang bener supaya jadi hidangan yang enak disantap. Dan dari apa yang saya lihat, hidangan Rumah Dara yang tadinya mengebul-ngebul panas, ternyata cepet dinginnya. Bikin kita yang awal-awalnya kelojotan, berubah jadi numb in a matter of minutes. Ada beberapa gangguan yang mengganggu (is there any other kind?) di film ini. The most glaring of them all, menurut pendapat saya adalah, Mbak Shareefa Daanish (maaf kalo salah ketik), si pemeran ibu Dara yang suaranya tiba-tiba mirip Shinchan kalo sedang nonton artis porno (“Hoooo” Gitu bunyinya). Saya tahu bahwa Daanish di sini dituntut untuk memerankan ibu awet muda yang ternyata usianya sudah melebihi parasnya, berkat sebuah diet spesial (mungkin Ibu Dara ini satu program diet dengan Hannibal Lecter). Tapi terlihat sekali bahwa suara Daanish di sini diberat-beratin. Pada awal-awal film, saat sosok Dara baru diperkenalkan, dan kalimat yang diutarakannya masih sedikit, tokoh Ibu Dara ini terlihat mengerikan dan otherworldly. Tapi begitu dia mulai banyak ngomong, efek mengerikannya hilang. Jatohnya malah jadi lucu. Tes sedikit yok. Baca kalimat berikut dengan suara paling berat yang anda bisa buat, DAN dengan tempo selambat mungkin: “Apakah. Kamu. Merasakannya. Astriiiiiiiid? Enak kaaaaaan? Goyang maaang” (yang terakhir ini bercanda). Tapi begitulah kira-kira. Tokoh yang seharusnya paling ditakuti di layar bioskop (Ibu Dara ini adalah pemimpin keluarga kanibal yang mencakup anak-anaknya yang arif dan budiman: Arifin Putra, Imelda Therine dan Ruli Lubis), berubah jadi tokoh yang menggelikan. Jangan salah, Daanish berhasil mentransformasi dirinya menjadi sebuah entitas yang lain. Dia tidak tampak seperti manusia. Tapi sayangnya, tidak tampak mengerikan juga bagi saya. (saya gak bisa menahan bengong waktu ada adegan Ibu Dara dicekik oleh laki-laki berbadan besar (Ario Bayu), lalu dengan sekali sentak, giliran Ibu Dara yang mencekik laki-laki itu. Laki-laki itu megap-megap sampe pingsan. Ternyata walaupun umurnya sudah tiga digit lebih, tulang dan otot-otot Ibu Dara masih kuat. Mungkin selain rutin makan sayur sop daging orok, Ibu Dara juga rajin mengkonsumsi Anlene).


 


 

PINTU TERLARANG

 
 
Pintu Terlarang Official Trailer

Joko Anwar itu sineas lokal. Tapi seleranya selera Barat. Dan dia bukan satu-satunya. Banyak sutradara lokal lain yang approach nya "bule" banget. Tapi kayaknya Joko is the most successful of the bunch. Kalo Garin Nugroho dan Nan T Achnas bisa dijagokan untuk membuat film-film yang "Indonesia banget", Joko bisa diandalkan buat bikin film yang punya appeal to the mainstream crowd (walaupun tema temanya melawan arus). Tapi ya jadinya itu.. Filmnya belum punya ciri khas. Tapi sebagai hiburan, film2 Joko selalu punya nilai hiburan yang tinggi. Bahkan Kala yang flop di pasaran aja gua jamin sanggup menghibur banyak penonton, kalo saja didukung promosi yang layak. Poin-poin inilah yang akhirnya dijawab dengan film teranyarnya: Pintu Terlarang.
 
Udah gua bilang tadi, kalo Joko (sejauh ini) berselera Barat (which is fine by me), tapi yang bikin gua agak mendoyongkan kepala adalah...yah... judul filmnya sendiri. Membaca judul Pintu Terlarang terpampang di atas poster kumal (keren dan mahal) itu sungguh bagaikan memandang film berbintangkan Christine Hakim, dengan judul Kelambu Basah. Bener-bener bikin turun gairah. Suer.
 
Tapi tentu saja gua gak bisa protes lantaran filmnya diadaptasi dari novel berjudul sama. Mungkin ada pertimbangan lain kenapa judul ini yang akhirnya dipakai.

Eniwei, plot filmnya sendiri berkisar pada Gambir (Fachri Albar), seorang pematung sukses yang dikelilingi oleh rahasia-rahasia absurd di kehidupannya. Bahkan sang istri jelita pun (Marsha Timothy) menyimpan rahasia darinya. Rahasia-rahasia tersebutlah yang akhirnya menggiring sang protagonis ke sebuah Pintu Terlarang. Nah, apa yang ada di Pintu Terlarang? Yang pasti bukan Hantu Jamu Gendeng ato Gendong ato apalah namanya itu.

Yang bikin gua salut dengan film ini adalah, pertama, seperti layaknya film thriller yang baik, penonton selalu dibuat bertanya-tanya. Gua berani jamin twist-twist nya gak bakal ketebak oleh penonton (this movie has more than a couple of them). Kalo nih film diibaratkan bungkus sate (wtf?) maka bungkusannya rapih sekali. Udah distaples, trus disolatip abis itu dikaretin pula. Sungguh sulit untuk ngeliat isinya. Tapi sekalinya bungkus sate nya kebuka. ILah Mak Jaaaan....berhamburan lah semuanya. Belepotan. Berantakan. Lulumpatan (all in a good way).
 
Tapi bukan berarti film ini gak ada kekurangannya. Gua merasa ada hal-hal minor yang membuat film ini--walaupun mengibur banget--jadi gak bull's eye kayak Kala. Entah kenapa, film ini kurang mencekam. Beda banget sama Kala, yang bener-bener arresting dan kelam. Katanya sih si Joko mencoba membuat gaya yang lebih light, di mana the movie doesn't take itself to seriously. Tapi sayangnya, the actors seem to take their parts very seriously. Ini membuat keseluruhan film jadi nanggung. Maunya apa? Self mocking, seperti yang ditunjukkan musiknya yang ceria? Ato mau jadi thriller yang tegang dan mencekam, seperti yang ditunjukkan oleh intensitas para pemainnya, pencahayaannya dan (lagi-lagi) musiknya yang tiba2 aja switch jadi serius? Ini sedikit banyak mengganggu gua karena, believe me, kalo ada diantara rekan-rekan semua yang udah baca bukunya, OMAIGATYANGMULIARATUKIDUL. Novelnya bener-bener edhyan gilanya. Dan gua berharap filmnya bisa mencapai kadar kesintingan yang sama. Tapi sepertinya Joko lebih memilih jalan lain. Dia mau orang normal dan waras juga bisa menikmati filmnya. Beda dengan versi novelnya yang bener-bener naudzubillah gendengnya (mungkin Joko berusaha menghindari sensor dan cekal?). Film ini jadi terasa restrained. Bukan cuma gore dan violence nya, tapi juga juga emotional impact nya. Tapi sungguh, untuk ukuran film Indonesia, ini adalah sebuah thriller yang sangat membanggakan sekali. Di saat Hollywood getol bikin thriller gampangan dengan twist-twist yang ketebak, film bikinan sineas kita ternyata bisa menghadirkan kejutan-kejutan yang nendang dan nampol.

Pesen gua, buat yang suka thriller ataupun tidak, give this one a shot, sebelum barang barang tiruan bikinan para pedagang itu membanjiri pasaran. Nih film juara.