Jumat, 01 April 2016

Batman v Superman: The Dawn of Justice


Batman v Superman Trailer

Pertama dari look film-nya dulu. Berbeda dengan film-film Marvel yang penuh warna dan membingkai adegan aksinya dengan jelas (walaupun sering kali sulit diikuti lantaran terlalu banyak kejadian dalam satu frame (I'm looking at you, Avengers), BvS hampir sepanjang durasi film (kurang lebih dua setengah jam) diselimuti kelam, mendung dan malam, seolah-olah langit cerah, berpelangi atau bahkan cerah berawan cuma terjadi di belahan bumi lain. Tone warna film ini yang nyaris monokromatik menyiratkan bahwa film ini akan menjadi sebuah tontonan yang serius, bahkan berisi--paling tidak dalam ukuran film superhero. Bisa jadi BvS ingin mengikuti  jejak seri Batman besutan sutradara Christopher Nolan yang sukses membawa genre ini ke tempat terhormat di dunia perfilman. After all, film kedua dari seri Batman besutan Nolan yang berjudul The Dark Knight (2008) berhasil mengantarkan mendiang Heath Ledger memenangkan piala Oscar tahun 2009. Sebuah prestasi yang jarang (atau bahkan tidak pernah?) dicapai oleh film-film dalam genre ini. Luar biasanya lagi, piala Oscar tersebut dimenangkan setelah meninggalnya Ledger. Kemenangan ini pun tidak dirasa mengagetkan. Hampir semua kritikus dan penonton sudah hakulyakin piala berlapis emas itu akan jatuh ke tangan mendiang aktor tersebut, sama dengan yakinnya kritikus dan penonton atas kemenangan Leonardo DiCaprio tahun ini untuk film The Revenant. Salah satu kunci keberhasilan Ledger dalam memerankan Joker, selain insting keaktorannya yang hebat (dia tidak pernah terlihat berlebihan, walaupun berperan sebagai kriminal sakit jiwa), adalah naskah filmnya yang apik. Hal ini tidak saya temui di BvS. Menurut pandangan saya, BvS ini termasuk ke golongan film dengan ''style over substance' atau bahasa gaulnya: 'kebanyakan gaya'. Menurut saya, di permukaan, BvS terasa begitu mirip dengan The Dark Knight dari mulai tone warna, cara tokoh-tokohnya berinteraksi (sepertinya harus selalu dengan air muka serius, tegang atau dingin), dialognya, sampai musiknya. Namun bedanya, nyaris semua komponen tersebut kurang memperkuat plot-nya. Padahal BvS punya pertanyaan yang menarik: Apa Anda yakin perbuatan Anda, yang menurut Anda bertujuan baik, tidak menimbulkan bencana yang lebih besar bagi (lebih banyak) orang lain? Seandainya Anda punya kekuatan seperti Superman atau endless resources as owned by Batman (atau katakanlah senjata nuklir) dan berjanji hanya menggunakannya untuk kepentingan "orang banyak", "orang banyak" yang mana yang Anda bicarakan?

Pertanyaan tersebut tidak hanya dapat ditujukan kepada putra Jor El, namun juga Batman dan Lex Luthor (atau para penguasa dunia, grup teroris sampai ormas anarkis di dunia nyata). Namun sayangnya tidak dijawab sama sekali di film ini, karena sutradaranya lebih mementingkan the sole hook of the movie, yaitu Batman dan Superman berantem, guling-gulingan, tinju-tinjuan, at the expense of the civillians they were suppossed to be protecting. Tidak digambarkan adanya penyesalan diantara kedua superhero ini atas kerusakan dan bahkan kematian yang mereka buat. Wouldn't it be nice (character wise) to have Superman, the boyscout of all superheroes, uncertain about his intentions, the effects of his actions and his existence as an immigrant on earth? Batman pun demikian. Walaupun di atas kertas, menurut saya, Ben Affleck cocok memerankan Bruce Wayne dan Batman, dia tidak memberikan nilai apapun untuk tokoh ini selain selalu terlihat tidak senang, murung dan marah. Penyebabnya, menurut saya adalah, di film ini, si Manusia Kelelawar tidak diberikan "hati". Superman masih punya Lois Lane dan Ibunya, Martha Kent yang membuat dia paling tidak terlihat punya rasa cinta. Bruce Wayne/Batman, walaupun memang sudah yatim piatu, tidak diberikan tokoh lain yang dapat menunjukkan bahwa ia punya sisi (dan ekspresi) selain terlihat banyak pikiran. Bahkan pelayan setianya, Alfred digambarkan tidak seperti father figure bagi Bruce Wayne (sesuatu yang menurut saya menyisipkan kelembutan pada film Batman versi Christopher Nolan, thanks to the moving performance by Michael Caine) tapi hanya seperti a wiser sidekick/technician to Batman. Di dalam film sempat terlihat kostum bekas Robin (sidekick-nya Batman) yang ditaruh di tabung kaca, dengan kondisi dicoret tulisan "the joke's on you, Batman." Bukankah menarik jika BvS juga menggambarkan bagaimana Robin "menghilang" (meninggal?) dan efeknya terhadap Bruce Wayne ketimbang menunjukkan beberapa adegan Bruce Wayne meratapi mendiang orangtuanya, yang saya pikir sudah bukan hal baru bagi yang mengikuti film/komiknya?

Satu satunya peran yang menurut saya menonjol (and not entirely for the right reasons) di BvS adalah tokoh Lex Luthor yang diperankan oleh Jesse Eisenberg. Jangan salah, menurut saya, aktor ini merupakan pelakon yang salah untuk berperan sebagai Lex Luthor. Walaupun Eisenberg merupakan aktor dengan comedic timing yang spot on (lihat Zombieland), aktor yang intens (lihat The Social Network) dan sanggup membuat film komersil biasa, lebih bernyawa (lihat Now You See Me), dia bukan aktor yang memiliki range yang luas. Gerak tubuh dan cara dia men-deliver dialog sebagai Lex Luthor mirip dengan sewaktu aktor ini memerankan Mark Zuckerberg di Social Network. Pelanggaran terberat dari Eisenberg sebagai tokoh antagonis adalah, dia sama sekali tidak terlihat berwibawa, ataupun menakutkan. Setiap kali tokoh ini berbicara, ia terlihat gugup dan gemeteran. Sulit dipercaya bahwa larger than life figures like Superman & Batman fell into his traps. Itu sebabnya mengapa saat Manusia Baja dan Pendekar Kegelapan itu akhirnya adu jotos di pertengahan film akibat politik adu domba Luthor, saya tidak merasakan apa-apa. Seru? Nggak, karena saya merasa nothing is at stake, or I just couldn't buy the supervillain's plans. Eisenberg jadi menonjol karena salah tempat. Dia aktor character-driven yang dibawa ke film explosion-driven. Hasilnya nggak nyambung. But chances are, he is the only actor in the movie that viewers will talk about. Aside from Wonder Woman yang muncul di penghujung film, sayang screen time nya nggak begitu banyak. 

Secara umum, film BvS ini adalah tipe film yang dijadikan movie event untuk nobar dengan teman-teman kantor/sekolah/kuliah. Keluar dari bioskop, kita akan lanjut makan dan ngopi, ngobrolin film ini sedikit, lalu lanjut ke topik lain yang lebih menarik. Film ini sendiri perlahan-lahan tenggelam dari ingatan saat matahari terbit keesokan harinya.  Ini berbeda dengan The Dark Knight, yang, paling tidak, kesan positifnya (terutama performa Heath Ledger) nempel di kepala penggemar film yang menontonnya di bioskop. Atau mungkin, film superhero seperti ini sebenarnya bukan untuk saya (saya memang bukan pembaca komik. Doyannya nonton film). Tapi kalau begitu, kok dulu bisa menikmati The Dark Knight, Batman Returns, Iron Man, dan Spider-Man (versi Sam Raimi) padahal filmnya sama-sama dua jam lebih? Am I getting to old for these superhero movies?  Oh well. 



Dimas Rio  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar