Rabu, 25 Juni 2014

MENCOBA ME-REVIEW HOW TO TRAIN YOUR DRAGON 2




Nggak ada yang ngalahin rasanya waktu kita men-discover sesuatu yang baru. Be it a new place to travel to, new skills to master, new things to do, or just simply new song that we hear on the radio. That is what I felt when I watched How to Train Your Dragon 2, the follow-up to the 2010 DreamWorks’ animated hit of the same name. A sense of discovery. Or make it a re-discovery.
Bagi yang nggak inget soal film pertamanya, or simply just missed out on one of the most surprisingly inventive animated offerings from DreamWorks (the others being the first Shrek (2001) and the Croods (2012)), How to Train Your Dragon berkisah tentang seorang bocah bernama Hiccup (disulih suarakan dengan dengan cara delivery yang lempeng, cuek dan kocak oleh Jay Baruchel—iya, cowok kurus yang bikin Seth Rogen dan Jonah Hill berantem kayak pasutri di This is the End (2013), anak kepala suku di pulau bernama Berk yang—beda dengan orang Viking kebanyakan yang demen adu otot dan ngusir hama (“ngusir” as in swaying their swords and axes feverishly dan “hama” as in dragons—they burn the crops and steal the cattle, you see)—Hiccup lebih suka menyendiri, “nukang” dan menemukan alat-alat canggih buat ngebuktiin diri ke bokapnya, kepala suku di Berk bersuara bak Leonidas dari film 300. Singkatnya, Hiccup ini kayak Thomas Alfa Edison, if Mr. Edison were a teen, a Viking, has a dry wit, and ride dragons. Pada suatu malam, Hiccup yang sedang menguji coba salah satu alat penangkap naga rancangannya, tak dinyana sukses melumpuhkan seekor naga berjenis Night Fury yang konon katanya tidak mungkin ditangkap manusia karena kecepatan terbangnya yang ngebut bak rajawali Brama Kumbara on steroids. Kecepatan terbang sang naga ini lah yang akhirnya terganggu akibat tembakan alat Hiccup yang jitu. Hiccup, yang tidak sampai hati menghabisi nyawa sang naga memutuskan untuk memeliharanya dan memberikan nama Toothless (tidak bergigi)—terinspirasi dari barisan gigi sang naga yang bisa gampang keluar-masuk. Singkat cerita, di akhir film pertama, Hiccup menyelamatkan kampungnya dari petaka, dengan bantuan naga-naga yang dilatihnya, dengan satu battle wound, kehilangan satu kaki. To me, for the supposedly kiddie movie to have its protagonist lose limbs/body part at the end was a daring move. Konsepnya sendiri cakep: Ini tentang dua sahabat yang saling melengkapi secara harfiah: Hiccup tidak bisa selamat di situasi genting tanpa kemampuan terbang naganya, tapi Toothless sang naga pun juga tidak bisa terbang sempurna tanpa penunggangnya, yaitu Hiccup dikarenakan ekornya yang luka permanen.
When the movie was first released, it was nominated for two Oscars (for Best Animated Feature, albeit was beaten by the “ya-iyalah-pasti-menang” Toy Story 3 (2010), and for Best Music Score, but was beaten by The Social Network (2010). Saya harus bilang bahwa seharusnya film ini menang untuk music score terbaik. Kalau ada yang sudah sempat dengar score albumnya, musik yang digarap komposer John Powell untuk film ini luar biasa kerennya. Score berjudul “Test Drive” yang mengiringi Hiccup dan Toothless saat pertama kali terbang bersama menggunakan ekor buatan has a grand, soaring and victorious sound dan score “Romantic Flight” yang mengiringi Hiccup dan Astrid melayang di atas awan is warm, sweet and, well, romantic). Singkat kata, jilid pertama How to Train Your Dragon memukau saya yang mulai jemu dengan film animasi yang menomor wahidkan cute factor, sulih suara selebriti, humor slapstik tanpa substansi (lirik sekuel-sekuelnya Madagascar, sampe Rio). I was thoroughly impressed with the first movie. Needless to say that I cheered when I first saw the glorious teaser of the sequel in the theatre. Now that the sequel is out, how does it compare?         
Film kedua ini dimulai lima tahun dari akhir film pertama. Hiccup, kini lima tahun lebih tua, berpacaran dengan Astrid (disulihsuarakan dengan kombinasi feisty and sweet yang pas oleh America Ferrera), hendak diangkat menjadi kepala suku oleh Stoick, sang bokap (sulih suara oleh Gerard Butler). Tapi Hiccup yang merasa nggak punya leadership skills semumpuni bokapnya, selalu berusaha menghindar dan memilih untuk terbang menjelajah bersama naganya, Toothless, demi membuat what must be a prehistoric version of google maps. Salah satu daerah baru yang ditemukannya adalah sebuah pulau porak poranda berlapis es yang dihuni oleh gerombolan penangkap naga beringas (surprisingly, Princess Elsa and Princess Anna are nowhere to be found) yang dipimpin oleh pemuda bernama Eret. Eret & the geng ini ternyata terafiliasi dengan seorang dragon master bernama Drago Bludvist (disulih suarakan oleh Djimon Hounsou, yang dijamin sukses bikin anak-anak yang nonton film ini trauma) yang tujuan hidupnya adalah menguasai semua naga yang ada di dunia supaya bisa dengan mudah menjajah orang-orang yang nggak sepaham sama dia. Alegori terhadap penguasa yang membangun kekuatan militer untuk menekan rakyat dan bangsa lain bisa dilihat dari sini. Pun dengan keyakinan Hiccup untuk menjalankan politik luar negeri berbasis diplomasi dan keyakinan sang bokap bahwa nggak ada gunanya bernegosiasi dengan teroris macam Drago Bludvist (“people who kill people without reason cannot be reasoned with,” gitu katanya).
Singkat kata, ada banyak adegan perang. Banyak adegan naga terbang. Banyak aerial shots pemandangan alam. Pokoknya semua boilerplate film kolosal yang udah dipatenkan lebih dulu oleh Lord of the Rings. Tapi semua adegan tadi bisa kerasa punya weight, gravity and emotion due to the care applied to character development. Ini adalah aset terbesar How to Train Your Dragon 2. Penonton dibikin care terhadap tokoh-tokoh utama di film ini, terutama sekali Hiccup dan Toothless. Ini dicapai melalui ekspresi mata tiap tokoh yang hidup dan berbicara, humor slapstik tapi subtil (most of the physical comedy occurs in the background while other important scene/dialogue is happening), dan sulih suara yang total dari semua voice actors-nya. Jay Baruchel menginjeksikan dimensi lain ke dalam Hiccup—tidak lagi hanya jadi vessel untuk dialog dan reaksi awkward, tapi juga hesitance and ultimately, heroism. Gerard Butler menunjukkan bahwa pelakon film tidak hanya harus punya screen presence tapi juga voice presence. Karakter Stoick punya nyawa dan kehadiran karena dia. Cate Blanchett brings a strong and yet ethereal quality dalam karakter Valka, ibu Hiccup yang tiba-tiba muncul setelah dua puluh tahun disangka wafat. However, the star of the show is still Toothless, seekor naga yang entah gimana oleh para animator DreamWorks dibikin kurang ajar menggemaskannya. Kuat-kuatin batin aja saat anak/keponakan anda jerit-jerit minta dibeliin naga buat jadi binatang piaraan.
Sedikit nitpicking, kalaupun ada yang kurang nendang di film ini adalah music score-nya. Music score “Test Drive” yang megah yang ada di film pertama sayup-sayup terdengar di film kedua ini tapi di overlap dengan vokal dan dibikin mirip lagu pop (at least that is what it sounds like in my inexperienced ear) ngebuat adegan terbang Hiccup dan Toothless nggak semegah dahulu (then again, kata The Groove, dahulu semua indah.. so..). Tender moments in the first movie, seperti waktu Hiccup terbang bersama Astrid atau saat Hiccup dan Toothless melalukan “bonding time” juga nggak banyak di film ini. Terlepas dari satu adegan Stoick (Gerard Butler) mengingatkan istrinya akan lagu pernikahan mereka yang joyful dan infectious, kayaknya How To Train Your Dragon 2 memang sengaja dibuat lebih gelap (bersiaplah untuk menyaksikan sebuah (atau beberapa buah) plot development(s) yang membuat film ini secara instan memiliki sense of maturity and realness) dan lebih mengedepankan action bagi penontonnya. And its not a bad thing. In fact, taken as a whole, How to Train Your Dragon 2 is frikkin’ awesome. Setuju sama salah satu kritikus film yang gue baca di metacritic.com, kalo sekuel pertamanya aja masih sebagus ini, here’s to How to Train Your Dragon 3 to 20!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar