Kamis, 29 September 2011

JULIA'S EYES


Julia's Eyes Official Trailer

Saya nggak tau dengan anda, tapi saya suka ngerasa mesakne (alias kasihan, dalam bahasa Prancis Kromo Inggil) kalo ngeliat kondisi cewek-cewek inceran psikopat/dedemit/mertua jahat di film-film thriller (atau bahasa Jawa nya, damsel in distress). Pertama, walaupun si cewek ini cantik, baik hati dan rajin taraweh, gak bakal ada satu orangpun dari sahabat, guru dosen, polisi sampe hansip yang bakal percaya sama semua omongannya. Ini terbukti terjadi di nyaris setiap film thriller. Si cewek bisa aja jadi saksi tunggal pembunuhan seorang siswa SMA oleh Nyi Roro Kidul di lantai disko atau dapat penglihatan ala Final Destination bahwa Jakarta akan banjir setiap lima tahun sekali, namun sahabat, polisi, sampai suami yang sudah bertahun-tahun menikah dengan harmonis nya pun tidak akan percaya. Mekanisme kayak gini mungkin emang perlu, demi supaya agar, pertama, si tokoh cewek bisa berubah menjadi sosok mandiri dan kuat. Penonton pastinya akan langsung berada di belakang sang tokoh utama dan mendukung seluruh aksi-aksinya dalam menguak kebenaran (go go Power Rangers!). Namun ini juga berarti, mengingat bahwa tiada ada satu orang pun yang percaya pada kesaksian sang damsel in distress, wanita malang tersebut akan dipaksa oleh plot ala thriller untuk pergi kemana-mana sendirian. Ngecek stasiun kereta api malem-malem, sendirian. Ngecek asal-usul pembunuh/setan sendirian bahkan sampe masuk ke WC umum aja sendirian. Ini kan sudah keterlaluan namanya. Tapi, seperti kata-kata bijak orang Barat yang berbunyi: Curiosity killed the cat atau yang artinya “jangan kebanyakan nanya jadi kucing.” Becanda ding. Artinya kira-kira “Jangan banyak nanya lah kalo gak mau celaka,” sang pemeran utama wanita ini niscaya akan mendapatkan teror teror badaniah batiniah luar dalem dunia akherat atas keberanian dan rasa penasarannya itu. Those are inevitable in thrillers. Karena, menurut gua, what makes thrillers tick are, among others: (1) Kesendirian/Terisolasi, dan (2) Ketidaktahuan (sisanya tinggal diisi sendiri sesuai selera anda. Kemudian tiriskan. Sajikan selagi hangat.) Nah, di dalam film Spanyol berjudul Julia’s Eyes (Bahasa Spanyol nya Los Ojos De Julia—ini beneran) bikinan dua sutradara bernama Guillem Morales dan Oriol Paulo (terimakasih imdb) dan diproduseri oleh sang maestro asal Sumatera Utara, Guillermo Del Toro, semua situasi film thriller dimasukin semuanya—and then some. Kalo penonton disuruh megang catatan yang berisi tick boxes adegan-adegan wajib film thriller, niscaya semua kotak nya kecontreng sehabis nonton film ini. Pertanyaan selanjutnya: Is that a bad thing? Not necessarily. In fact, dengan banyaknya adegan dan situasi film thriller, Julia’s Eyes menjadi sangat, sangat, mengasyikan.

Nggak percaya? Mari siapkan buku catatan anda selagi mendengarkan plot film ini. Seorang wanita bernama Julia (diperankan oleh aktris Belen Rueda) menemukan saudara kembarnya yang bernama Sara (diperankan juga oleh Belen Rueda) tewas gantung diri di basement rumahnya. Seperti kisah thriller dan misteri pada umumnya, kematian sang saudara kembar ini tidak seperti apa yang kita kira sebelumnya. Dan Julia tahu ini. Dia merasa saudaranya tidak bunuh diri, tapi dibunuh oleh seseorang. Atau sesuatu. Tentu saja seperti kisah-kisah tegang lainnya, proses penguakan misterinya harus dibikin ribet. Sudahkah saya bilang kalau Julia bermasalah dengan indera penglihatannya? Dalam kisah ini, baik Julia maupun mendiang saudaranya, Sara, menderita kelainan pada indera penglihatan mereka, yang membuat daya pandang mereka perlahan-lahan menurun seiring berjalannya waktu, menuju kebutaan. Dan oh, stress dan panik hanya akan membuat proses kebutaan ini semakin cepat. Ah, Julia, you are so screwed. Saat Julia menceritakan kecurigaannya pada suaminya, sang suami, sebagaimana pasangan yang penyayang dan berpedoman pada sila Persatuan yang Adil dan Beradab, tidak mengindahkan keluh kesah sang istri. Pundung, Julia pun melakukan riset sendiri. Tapi tentu riset-nya tidak gampang karena semua orang yang ditemui Julia, dari mulai tetangga, pelayan, sampe anak jin sekalipun, semuanya bertingkah misterius. It’s like they know more than they are saying. Sama lah tingkahnya kayak ngebayangin Christoper Nolan ngomong:

“Selamat datang di press junket lanjutan film the Dark Knight. Saya bisa katakan di sini bahwa di film ini akan ada kejutan gila-gilaan. Salah satunya adalah kemunculan KEMBALI dari MUSUH UTAMA, BEBUYUTAN Batman, yaitu, ADALAH—YAK cukup sampai di sini saja press junket hari ini.Sekian dan wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Para penonton pun langsung adu cakar-cakaran. Ini lah perasaan yang berhasil diciptakan oleh sang pembuat film terhadap tokoh Julia dan para penonton. Sepanjang masa putar film, Julia dan penonton dibuat pengen ngedangdut: “sungguh mati aku jadi penasaraaaaaan.....” karena plot dan kondisinya seperti disalin dari buku Thriller 101 (if there is such thing) sebagaimana dijelaskan di atas. Tapi ini nggak berarti film Julia’s Eyes ini menjadi jelek karena semua tergantung skill para pembuatnya (termasuk pemainnya). Oke, anggaplah begini. Pada masa sekolah, pernahkah anda membiarkan teman sebangku anda mencontek jawaban-jawaban ujian anda tahu-tahu dia mendapatkan nilai lebih bagus dari anda? Ditambah lagi dia dapat beasiswa penuh ke universitas ternama di Bandung dan sekarang bekerja di salah satu perusahaan multinasional di Jakarta? (that mother fumbling scheming conniving little sh—ampe di mana tadi??) Nah, duo sutradara Julia’s Eyes, Guillem Morales dan Oriol Paulo ini bisa diibaratkan sebagai teman atau mantan teman anda itu. Hasil kerjaannya banyak nyalin tapi hasilnya lebih bagus daripada thriller-thriller kebanyakan. Padahal bahan-bahannya juga dari thriller-thriller kebanyakan (contoh: dalam setiap kesempatan, tokoh ceweknya selalu ditinggal sendirian sama sang suami entah si suami bilang “aku ambil kopor di parkiran dulu ya, kamu tunggu aja di hotel yang ada pelayan creepy nya ini” dan bahkan setelah sampai di parkiran, “Nah sekarang kamu tunggu di mobil, di parkiran ini ya. Aku mau ngomong sama satpamnya.” Mbok ya diajak aja gitu istrinya. Kasian itu lagi ketakutan! Di film ini juga masih ada penyakit di kala klimaks film, yaitu Penduduk Komplek Perumahan yang Kayaknya Pada Mudik Lebaran Semua Sampe-Sampe Gak Bisa Mendengar Pemeran Utama Jerit-Jerit Diserang Pembunuh/Setan/Tukang Es dan bapak-bapak polisi yang kelakuannya sungguh mirip ciri-ciri orang hamil: Telat Datangnya.) Tapi satu hal yang saya bisa jamin—anda gak bakal bisa menebak dalang/pelaku/setan-nya siapa di film ini. Saya berani garansi (*syarat dan ketentuan berlaku). Hal yang paling berhasil dari film ini adalah unsur misteri nya. Dan pay off nya pun tegang dan memuaskan. Kalo film ini diibaratkan humor, punch line nya nendang.

Salah satu pilar kekuatan Julia’s Eyes adalah pemeran utamanya, Belen Rueda. Selain film Spanyol The Orphanage (film horor yang juga creepy mampus yang juga diproduseri oleh Bang Toro (Guillermo Del Toro that is)), saya belum nonton film-film dia yang lainnya. Tapi cukuplah kalau saya bilang pelakon ini sungguh mantap memainkan sosok wanita yang di satu sisi, berdeterminasi tinggi, tapi juga penuh dengan ketakutan—karena penglihatannya yang semakin lama semakin memburuk (tunggu sampai film ini menempatkan anda di point of view Julia, yang buram dan obskur. Bohong namanya kalo nggak ngeri ngeliat sosok bayangan yang berdiri di ujung ruangan gelap—menunggu untuk menyerang Julia/Anda).

Anyway Kolong WayWay, saya ucapkan salut pada duo sutradaranya, dan sang produser Guillermo Del Toro yang sukses menelurkan film misteri/thriller yang sangat bertunangan alias engaging. It’s like as if those guys had cunningly set up mouse traps along the maze for us to step on and made sure that we like it.

Well, at least I do.

 

Minggu, 17 Juli 2011

Mencoba Me review Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2


Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 Official Trailer

Author's Note: Beda dengan review film lainnya di blog ini, review kali ini adalah untuk film baru!--Akhirnyaaa....gak telat-telat amat... Enjoy reading guys.
 
Kadang-kadang dialog gombal kala kencan di malam minggu (atau malam jum’at—untuk yang doyan demit atau yang susah bagi waktu dengan selingkuhan) macam: 

“Kamu maunya kemana malam ini?”
 
“Ah, kemana aja enak, asalkan sama kamu.”
 
…itu ada sedikit bener—atau malah—banyak benernya. Kalo dipikir-pikir lagi, bagi yang udah berpasangan lama dan sering jalan bareng, bisa jadi semua tempat makan, tempat nongkrong, sampe pangkalan ojek (kalo majikan lagi gak ada di rumah) pasti udah pernah disambangi. Yang membuat kencan itu nikmat adalah dengan siapa kita berkencan—atau kalo kita ngomonginnya sebatas pertemanan saja—dengan siapa kita nongkrong. Kalo udah nyaman dengan teman kencan/nongkrong, kita sudah sanggup melupakan fakta bahwa: (1) agenda kencan kita sebenernya cuma sebatas nonton DVD bajakan (2) itupun di kamar kos an pula (3) to make matters worse, penghuni kos yang lain pada nyanyi dan ngecengin kita dari jendela (4) tambah lagi kamar kos-nya pun terletak pas di samping kuburan dan (5) abis filmnya kelar kita baru sadar kalo yang tinggal di kos-an ini kan cuma cewek kita—trus yang daritadi nyanyiin kita dari jendela siapa dong??

...Aaaaanyway, intinya, kalo kita sudah menemukan pacar yang menyukai kita apa adanya (bukan ada apanya), pasangan ataupun teman-teman yang klik, kita bisa dengan mudah memaafkan kelemahan/kekurangan yang ada (sampai kadar tertentu pastinya), entah itu masalah tempat pertemuan yang sebenarnya itu itu saja, joke-joke yang sebenernya bikin jatuh kasihan, sampe lagu di tape atau CD player yang rasanya pengen kita patahin jadi dua. However, we endure, and we enjoy because we love the person (or the people) we are talking to. Inilah yang terjadi pada gua (dan mungkin juga terjadi pada beberapa dari anda), setelah bertahun-tahun membaca dan atau menonton serial Harry Potter. Topiknya atau temanya tentu sudah ketahuan dari mulai buku/film kelima, and yet we still want to read/see more. Tempatnya ya pastinya itu-itu saja (namely, Hogwarts) karena sudah diperkenalkan dari mulai buku pertama. Orang-orangnya? Ya dia-dia juga (karena akan aneh kalo tiba-tiba Harry Potter diganti oleh Budi Anduk) . Opening credits nya? Ya sama-sama saja. Tinggal latar langitnya aja dibikin tambah mendung in each successive films. Kenapa juga begitu banyak orang rela mengikuti kisah bocah tukang sihir ini sampai tujuh buku dan delapan film? Di film terakhirnya yang berjudul Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 ini akhirnya gua menemukan jawabannya.

Sebelum saya uraikan kesan-kesan saya pada jilid pamungkas Helikopter—halah—Harry Potter ini, mungkin sebaiknya kita baca dulu ringkasan ceritanya: setelah menghancurkan tiga dari tujuh Horcrux (i.e. objek/benda-benda yang mengandung pecahan jiwa/ruh sang penyihir kegelapan, Voldemort) di film-film sebelumnya yang mencakup sebuah buku diary (yang berhasil dihancurkan oleh Harry di film kedua: Harry Potter and the Chamber of Secrets), sebuah cincin (yang dihancurkan—walaupun tidak divisualisasikan di film maupun di buku—oleh sang mendiang kepala sekolah Hogwarts, Albus Dumbledore) dan sebuah kalung (yang dihancurkan oleh sahabat Harry yang sedikit menderita inferiority complex, Ron Weasley), Harry dan kawan-kawan kembali memburu empat Horcrux yang masih tersisa demi membinasakan Voldemort eternally, forever dan selama-lamanya.. Namun tentu saja misi perburuan Horcrux ini tidak semudah memesan bakso dan mi tek tek, karena jelas sang empunya Horcrux (i.e. Voldemort) tentu akan menghalangi misi Kang Heri dengan segala cara, termasuk mengancurkan sekolah sihir Hogwarts dengan seluruh penghuninya.

Bagi orang-orang yang sudah baca bukunya, “menanti twist yang mengejutkan” tentu sudah bukan pilihan lagi karena toh kita (i.e. yang sudah baca bukunya) sudah tahu semua plot twist atau kejutan yang akan disuguhkan di dalam cerita. Yang bisa dilakukan hanyalah berharap apakah sang sutradara (i.e. David Yates, yang sudah menyutradarai empat film Harry Potter termasuk yang ini) sanggup mengimbangi imajinasi jutaan pembaca yang sudah membaca bukunya, karena sungguh, sebenarnya para pembaca buku Harry Potter sudah membuat film hasil imajinasi mereka masing-masing saat membaca bukunya. Kita tinggal melihat apakah the director’s vision is able to measure up to our version. Jawabannya, untuk film ini, menurut saya: belum. Saya merasa, selagi menonton film ini, kepala saya terus bergumam: “Oke, abis adegan ini mereka pasti ke sini, abis itu ke sini, abis itu klimaks nya begini, abis itu si itu mati, oh si itu mati juga” and to be fair, for faithful Harry Potter readers, this thing is inevitable. Tapi cuma pilihan inilah yang kita dapat, antara lain: (1) Film Harry Potter dibikin sesuai dengan bukunya, seperti film-film adaptasi sahih lainnya—dengan resiko, kita sebagai pembaca, jujur deh, sudah sulit merasa tegang atau kaget atau terhenyak lagi—wong kita sudah tahu isinya bakal seperti apa kok. Atau pilihan kedua: (2) film Harry Potter dibikin beda jauh sama pembuatnya—yang tentu saja akan berakhir dengan demo dan pembakaran bioskop. Kita, untungnya, disuguhi pilihan pertama.

That’s not entirely a bad thing. Seperti yang saya bilang di atas tadi, ada sesuatu yang membuat banyak dari kita (Harry Potter readers and non-readers alike) rela menonton setiap film Harry Potter baru yang keluar, sampe sekarang—walaupun mungkin sudah tahu isinya bakal seperti apa. Dan sesuatu itu, menurut saya, adalah—antara lain: (1) karakter/tokoh-tokoh yang diciptakan dengan sangat sangat bagus. (2) chemistry antara tokoh-tokoh tersebut di film, dan chemistry mereka ke kita dan (3) familiarity kita sama semua hal menyangkut Harry Potter. It’s just like us with our friends or spouse. Kita bisa nyambung dengan teman-teman kita karena kita suka karakter mereka, kita punya chemistry dengan mereka dan kita (lama-lama) terbiasa dengan mereka. Apa yang terjadi jika teman/sahabat/pacar kita mendadak harus pergi jauh untuk sekolah, kerja atau bahkan diculik UFO? Tentu kita akan menemani untuk terakhir kalinya, bahkan mengantarkan ke bandara, stasiun, sampai pangkalan UFO. And in the case of the last Harry Potter movie, we go for him to the cinema.

Film ini memang jadi ajang nostalgia dan perpisahan dengan hal-hal yang berhubungan dengan film Harry Potter. Nyaris semua tokoh ataupun lokasi (sampai musik) yang sempat muncul di film-film terdahulu dimunculkan lagi di film ini dan hal-hal ini (apalagi di saat klimaks dan ending) sukses ngebuat penonton memiringkan kepala dan berkata: “Aaaaawww...” Ada juga beberapa kejutan berkenaan dengan tokoh-tokoh yang sebelumnya tampil misterius dan abu-abu (for Harry Potter readers, pasti sudah tahu apa yang saya maksud—dan adegan-adegan inilah yang menurut saya—nyaris sesuai dengan imajinasi saya saat membaca bukunya). Untuk adegan-adegan serunya seperti kejar-kejaran atau perang-perangan? Tentu sudah kurang mendebarkan lagi karena toh kita sudah tahu siapa yang selamat dan siapa yang tidak. However, special mention has to be made to the sequence involving fire that won’t die and a bunch of our heroes. Adegan itu terlihat menyeramkan bagi saya. Baguss.

All in all, this film serves as a solid entertainment. And a fitting farewell to our beloved friends, Harry Potter dan kawan-kawan. Harry, Ron dan Hermione sudah begitu akrab di mata kita sekarang, dan akhir kisah mereka ditutup dengan manis di film ini. Para pemerannya sendiri, terutama sekali Daniel Radcliffe—khusus di film ini—menurut saya memberikan performa yang mengesankan. Dia benar-benar muncul sebagai pahlawan di sini. Harry Potter versi film akhirnya bisa menyamai karakter hero yang ditulis pengarangnya: J.K. Rowling. Dan satu lagi, untuk Alan Rickman, pemeran karakter paling kompleks di buku dan di film, yaitu Profesor Snape, saya angkat topi. Menurut saya dia tampil luar biasa.

Intinya, dibalik beberapa kekurangan (mainly kurang tegang, considering that this is the last installment), film Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 tetap harus ditonton oleh penggemar Harry Potter (baik itu pembaca bukunya, atau bagi yang hanya menonton filmnya) karena—yah—karena, kemungkinan, Harry tidak akan menyambangi bioskop lagi di tahun tahun mendatang. Ini pertemuan terakhir kita dengan dia dan teman-temannya (kecuali kalau ibu J.K. Rowling atau Warner Bros membikin prolog, lanjutan atau spin-off nya) dan film ini merupakan “farewell party” digelar di bioskop di seluruh dunia. Would you miss a chance of going to your friend’s farewell party?

Dio