Sabtu, 26 Juni 2010

THE COVE



The Cove Official Trailer

Ada alasannya kenapa Bumi kita ini 71% wilayahnya terendam oleh air. Salah satunya adalah untuk menyediakan “rumah” yang cukup besar bagi kumpulan makhluk hidup luar biasa yang nggak mungkin muat kalo diangkut ke darat. Mungkin juga untuk mengingatkan kita bahwa sebenarnya ada juga makhluk hidup lain yang teritori kekuasaannya jauh lebih luas daripada kita. Mereka ini adalah creatures from beyond the sea.
 
Tapi entah karena ngerasa terancam dengan eksistensi makhluk lain atau simply karena emang dari sononya udah bermental penjajah, manusia seringkali dengan sentosa berusaha dengan segala cara memporak-porandakan apapun yang dirasa lebih bagus, lebih kuat ataupun (mungkin) lebih sempurna daripada dirinya. Pohon lah ditebangin. Terumbu karang lah diancurin. Hutan lah dibakarin. Kasarnya, kita ini kayak bocah yang megang bublewrap. Bawaannya selalu pengen meletusin buble-nya satu-satu sampe ancur semua.
 
Inilah salah satu pandangan yang saya tangkap dari menonton the Cove, sebuah film dokumenter yang dibuat oleh sekumpulan filmmaker, aktivis lingkungan, dan pihak-pihak lain yang punya passion tinggi untuk menyelamatkan bumi dan makhluk hidup di dalamnya dari kepunahan. Lebih khususnya, melalui film ini mereka ingin menyelamatkan “quite possibly the smartest mammals that ever lived the earth—or the sea for that matter”, from extinction. Makhluk yang dimaksud ini adalah: Lumba-lumba.
 
Tema mengenai penyelamatan lumba-lumba inilah yang membuat saya langsung tertarik begitu pertama kali mendengar tentang keberadaan film ini. Saya selalu mengibaratkan bahwa lumba-lumba itu bagaikan siswa (atau siswi) paling perfect di sekolahnya. Bayangkan. Udah cantik, pintar, jago olahraga, jago kesenian (i.e. lumba-lumba responsif terhadap musik), heroik, pandai bergaul, udah gitu alim pula! Now, where the hell can you find a girl—uhm mammals—with qualities like that these days??
 
Anyway—pardon for the curcol. Kembali ke filmnya. Saya tidak pernah secara khusus menggemari film-film dokumenter. Entah kenapa, rasanya seperti nonton siaran berita versi dua jam. Tapi saya tetap memaksakan diri menonton film ini karena ketertarikan saya terhadap temanya. Bagaimana hasilnya?
 
The Cove mengabadikan seluruh keringat dan usaha keras seseorang bernama Richard O’Barry dalam menyelamatkan kumpulan lumba-lumba dari harpun dan tombak maut para nelayan di desa Taiji, Jepang. Di film ini kita diinformasikan bahwa O’Barry ini dulunya adalah trainer lumba-lumba untuk serial tivi populer, Flipper tahun 60’an. Konon, suatu peristiwa menyedihkan yang disaksikannya dahulu kala membuatnya sadar bahwa lumba-lumba—sebagaimanapun terlihat ceria dan semangatnya—tidak pernah suka berada dalam penangkaran, apalagi dijadikan tontonan wisata macam di SeaWorld atau Ancol. They eventually get stressed out. And they willingly and deliberately decide to die.
 
Didorong oleh keinginan untuk membebaskan kumpulan “Flipper” dari penjara lumba-lumba lah, O’Barry bersama sang sutradara, Louie Psihoyos, mengumpulkan teman-teman mereka, sesama aktivis, pekerja film, sampai penyelam professional ke Taiji, sebuah desa nelayan di Jepang, yang konon, merupakan pusat penangkapan dan perdagangan lumba-lumba di Jepang, or quite possibly, di dunia.
 
Membongkar sesuatu yang ditutup-tutupi memang terbukti sulit dan harus dilakukan secara paksa (kecuali kalau anda berada di film bokep). Aktivitas para filmmaker di sini juga mendapat terlihat mendapatkan segudang halangan, tidak cuma dari para nelayan di Taiji yang mendadak langsung jadi ganas setiap kali ngeliat handycam, tapi juga dari walikota setempat, polisi, sampai pemerintah pusat. Dengan berbekal semangat pemberontak dan pantang menyerah (or in other words, bandel), O’Barry dan kawan-kawan menerapkan sistem syuting gerilya, mengelabui watchdogs (in this case, nelayan-nelayan setempat) dan polisi demi membongkar pusat penangkapan dan perdagangan lumba-lumba di Taiji Jepang, terutama sekali di daerah laguna tersembunyi yang oleh pemerintah setempat ditutup untuk umum, dan dikenal dengan sebutan “The Cove”. Imaji dan adegan horror apa yang akhirnya terungkap di dalam laguna “The Cove” melalui kamera O’Barry dan kawan-kawan, saya rasa tidak mungkin dilupakan oleh siapapun yang menontonnya, atau membuatnya.
Yang membuat The Cove menjadi sangat menarik di mata saya adalah ketegangan yang dibangun. Yep. Ini film dokumenter, tapi berasa tegangnya layaknya menonton film-film heist atau perampokan bank. Jangan salah paham dulu. Film ini tidak “didisain” supaya jadi tegang, thus diminishing its realistic quality, tapi keadaan yang mengelilingi O’Barry c.s. memang mengharuskan mereka (dan penonton) menjadi serba hati-hati, dan selalu on the edge. Bayangkan, mereka harus kucing-kucingan dengan nelayan-nelayan Taiji yang selalu rajin jaga ronda. Ditambah lagi, mereka harus siap ber-alibi di depan polisi jika tidak mau masuk bui. Jadilah tim filmmaker jagoan kita di sini harus memutar otak dan melakukan segala cara (beberapa diantaranya mungkin bisa bikin kita geleng-geleng kepala) untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di dalam “The Cove”. Shortly, its like seeing a group of kids on a hunt, seeking for treasure guarded by pirates. Mengasyikan untuk dilihat. Bedanya, di sini konsekuensinya amat nyata. Dan fatal.
 
Di mata saya, baik O’Barry maupun sutradaranya, Louie Psihoyos, telah meneriakkan keluh kesah mereka dengan cara yang sangat asik, rebellious, tragis, dan menggugah. Their passion for dolphins and the earth in general, is infectious. Saya merinding melihat apa yang akhirnya dilakukan oleh O’Barry demi membuka mata dunia mengenai apa yang terjadi di “The Cove”. Film ini membuat saya kembali teringat, kenapa dulu saya sampai sempat berangan-angan menjadi filmmaker. Bahwa sebuah film, apapun genre-nya sebenarnya (dan seharusnya) merupakan sesuatu yang dipercayai oleh filmmaker-nya sendiri. Sesuatu yang patut ditiru oleh filmmaker kita. Saya berani tarohan disamber angin bahorok, kalo para pembuat film Horky (Horor-Boky) itu gak percaya sama peristiwa-peristiwa ilmiah seperti: diperkosa setan, kain kafan perawan dan hantu puncak datang bulan. Kalo ternyata mereka beneran percaya, saya mendingan pindah negara.
 
Terakhir kali, untuk film The Cove, saya angkat topi setinggi-tingginya. Saya tahu film ini dinominasikan di ajang Oscar 2010 untuk Best Documentary Feature. Menurut saya, dengan daftar nominasi Best Picture yang sudah di-expand hingga bisa memuat 10 nominator, seharusnya ada tempat bagi The Cove di kategori ini. It’s not merely a great documentary feature. It’s a great feature. Period.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar