Rabu, 25 Juni 2014

MENCOBA ME-REVIEW HOW TO TRAIN YOUR DRAGON 2




Nggak ada yang ngalahin rasanya waktu kita men-discover sesuatu yang baru. Be it a new place to travel to, new skills to master, new things to do, or just simply new song that we hear on the radio. That is what I felt when I watched How to Train Your Dragon 2, the follow-up to the 2010 DreamWorks’ animated hit of the same name. A sense of discovery. Or make it a re-discovery.
Bagi yang nggak inget soal film pertamanya, or simply just missed out on one of the most surprisingly inventive animated offerings from DreamWorks (the others being the first Shrek (2001) and the Croods (2012)), How to Train Your Dragon berkisah tentang seorang bocah bernama Hiccup (disulih suarakan dengan dengan cara delivery yang lempeng, cuek dan kocak oleh Jay Baruchel—iya, cowok kurus yang bikin Seth Rogen dan Jonah Hill berantem kayak pasutri di This is the End (2013), anak kepala suku di pulau bernama Berk yang—beda dengan orang Viking kebanyakan yang demen adu otot dan ngusir hama (“ngusir” as in swaying their swords and axes feverishly dan “hama” as in dragons—they burn the crops and steal the cattle, you see)—Hiccup lebih suka menyendiri, “nukang” dan menemukan alat-alat canggih buat ngebuktiin diri ke bokapnya, kepala suku di Berk bersuara bak Leonidas dari film 300. Singkatnya, Hiccup ini kayak Thomas Alfa Edison, if Mr. Edison were a teen, a Viking, has a dry wit, and ride dragons. Pada suatu malam, Hiccup yang sedang menguji coba salah satu alat penangkap naga rancangannya, tak dinyana sukses melumpuhkan seekor naga berjenis Night Fury yang konon katanya tidak mungkin ditangkap manusia karena kecepatan terbangnya yang ngebut bak rajawali Brama Kumbara on steroids. Kecepatan terbang sang naga ini lah yang akhirnya terganggu akibat tembakan alat Hiccup yang jitu. Hiccup, yang tidak sampai hati menghabisi nyawa sang naga memutuskan untuk memeliharanya dan memberikan nama Toothless (tidak bergigi)—terinspirasi dari barisan gigi sang naga yang bisa gampang keluar-masuk. Singkat cerita, di akhir film pertama, Hiccup menyelamatkan kampungnya dari petaka, dengan bantuan naga-naga yang dilatihnya, dengan satu battle wound, kehilangan satu kaki. To me, for the supposedly kiddie movie to have its protagonist lose limbs/body part at the end was a daring move. Konsepnya sendiri cakep: Ini tentang dua sahabat yang saling melengkapi secara harfiah: Hiccup tidak bisa selamat di situasi genting tanpa kemampuan terbang naganya, tapi Toothless sang naga pun juga tidak bisa terbang sempurna tanpa penunggangnya, yaitu Hiccup dikarenakan ekornya yang luka permanen.
When the movie was first released, it was nominated for two Oscars (for Best Animated Feature, albeit was beaten by the “ya-iyalah-pasti-menang” Toy Story 3 (2010), and for Best Music Score, but was beaten by The Social Network (2010). Saya harus bilang bahwa seharusnya film ini menang untuk music score terbaik. Kalau ada yang sudah sempat dengar score albumnya, musik yang digarap komposer John Powell untuk film ini luar biasa kerennya. Score berjudul “Test Drive” yang mengiringi Hiccup dan Toothless saat pertama kali terbang bersama menggunakan ekor buatan has a grand, soaring and victorious sound dan score “Romantic Flight” yang mengiringi Hiccup dan Astrid melayang di atas awan is warm, sweet and, well, romantic). Singkat kata, jilid pertama How to Train Your Dragon memukau saya yang mulai jemu dengan film animasi yang menomor wahidkan cute factor, sulih suara selebriti, humor slapstik tanpa substansi (lirik sekuel-sekuelnya Madagascar, sampe Rio). I was thoroughly impressed with the first movie. Needless to say that I cheered when I first saw the glorious teaser of the sequel in the theatre. Now that the sequel is out, how does it compare?         
Film kedua ini dimulai lima tahun dari akhir film pertama. Hiccup, kini lima tahun lebih tua, berpacaran dengan Astrid (disulihsuarakan dengan kombinasi feisty and sweet yang pas oleh America Ferrera), hendak diangkat menjadi kepala suku oleh Stoick, sang bokap (sulih suara oleh Gerard Butler). Tapi Hiccup yang merasa nggak punya leadership skills semumpuni bokapnya, selalu berusaha menghindar dan memilih untuk terbang menjelajah bersama naganya, Toothless, demi membuat what must be a prehistoric version of google maps. Salah satu daerah baru yang ditemukannya adalah sebuah pulau porak poranda berlapis es yang dihuni oleh gerombolan penangkap naga beringas (surprisingly, Princess Elsa and Princess Anna are nowhere to be found) yang dipimpin oleh pemuda bernama Eret. Eret & the geng ini ternyata terafiliasi dengan seorang dragon master bernama Drago Bludvist (disulih suarakan oleh Djimon Hounsou, yang dijamin sukses bikin anak-anak yang nonton film ini trauma) yang tujuan hidupnya adalah menguasai semua naga yang ada di dunia supaya bisa dengan mudah menjajah orang-orang yang nggak sepaham sama dia. Alegori terhadap penguasa yang membangun kekuatan militer untuk menekan rakyat dan bangsa lain bisa dilihat dari sini. Pun dengan keyakinan Hiccup untuk menjalankan politik luar negeri berbasis diplomasi dan keyakinan sang bokap bahwa nggak ada gunanya bernegosiasi dengan teroris macam Drago Bludvist (“people who kill people without reason cannot be reasoned with,” gitu katanya).
Singkat kata, ada banyak adegan perang. Banyak adegan naga terbang. Banyak aerial shots pemandangan alam. Pokoknya semua boilerplate film kolosal yang udah dipatenkan lebih dulu oleh Lord of the Rings. Tapi semua adegan tadi bisa kerasa punya weight, gravity and emotion due to the care applied to character development. Ini adalah aset terbesar How to Train Your Dragon 2. Penonton dibikin care terhadap tokoh-tokoh utama di film ini, terutama sekali Hiccup dan Toothless. Ini dicapai melalui ekspresi mata tiap tokoh yang hidup dan berbicara, humor slapstik tapi subtil (most of the physical comedy occurs in the background while other important scene/dialogue is happening), dan sulih suara yang total dari semua voice actors-nya. Jay Baruchel menginjeksikan dimensi lain ke dalam Hiccup—tidak lagi hanya jadi vessel untuk dialog dan reaksi awkward, tapi juga hesitance and ultimately, heroism. Gerard Butler menunjukkan bahwa pelakon film tidak hanya harus punya screen presence tapi juga voice presence. Karakter Stoick punya nyawa dan kehadiran karena dia. Cate Blanchett brings a strong and yet ethereal quality dalam karakter Valka, ibu Hiccup yang tiba-tiba muncul setelah dua puluh tahun disangka wafat. However, the star of the show is still Toothless, seekor naga yang entah gimana oleh para animator DreamWorks dibikin kurang ajar menggemaskannya. Kuat-kuatin batin aja saat anak/keponakan anda jerit-jerit minta dibeliin naga buat jadi binatang piaraan.
Sedikit nitpicking, kalaupun ada yang kurang nendang di film ini adalah music score-nya. Music score “Test Drive” yang megah yang ada di film pertama sayup-sayup terdengar di film kedua ini tapi di overlap dengan vokal dan dibikin mirip lagu pop (at least that is what it sounds like in my inexperienced ear) ngebuat adegan terbang Hiccup dan Toothless nggak semegah dahulu (then again, kata The Groove, dahulu semua indah.. so..). Tender moments in the first movie, seperti waktu Hiccup terbang bersama Astrid atau saat Hiccup dan Toothless melalukan “bonding time” juga nggak banyak di film ini. Terlepas dari satu adegan Stoick (Gerard Butler) mengingatkan istrinya akan lagu pernikahan mereka yang joyful dan infectious, kayaknya How To Train Your Dragon 2 memang sengaja dibuat lebih gelap (bersiaplah untuk menyaksikan sebuah (atau beberapa buah) plot development(s) yang membuat film ini secara instan memiliki sense of maturity and realness) dan lebih mengedepankan action bagi penontonnya. And its not a bad thing. In fact, taken as a whole, How to Train Your Dragon 2 is frikkin’ awesome. Setuju sama salah satu kritikus film yang gue baca di metacritic.com, kalo sekuel pertamanya aja masih sebagus ini, here’s to How to Train Your Dragon 3 to 20!


Rabu, 06 Maret 2013

Mencoba Me-Review BELENGGU

Belenggu Official Trailer

Thrillers are fun. Pandangan ini semakin mantap terpatri di kepala gue setelah menonton film buatan anak negeri berjudul Belenggu. Menurut gua unsur “thrill” yang menyesap ke dalam setiap karya (be it 2D movies, 3D movies, video games, sports, books, rides at the park, plays, even food, or anything we could think of) itulah yang membuat setiap kreasi sekonyong-konyong memiliki sifat interaktif dan membuat para penikmatnya atau penumpangnya atau penontonnya serta merta bereaksi. Startled. Surprised. Pleasantly so. It provides us with that extra kick, that extra jolt, that extra gasp. Dalam ranah film, saya rasa semua genre film, dari mulai drama romantis sampai komedi srimulat, dari Indiana Jones sampai Brama Kumbara-nya Indosiar, punya thrill factor which appeals to their respective target audience (Baiklah, maybe not Brama Kumbara tapi kira-kira begitulah intinya).
 
Lalu apakah faktor “thrill” saja cukup untuk memasung atensi penonton selama 90 menit plus plus sampai-sampai mereka (a) lupa waktu (b) lupa napas, (c) lupa makan popcorn, (d) lupa pipis, (e) mendadak galak sama istri/pacar/temen/selingkuhan yang kebanyakan nanya pake bisik-bisik, (f) bawaannya pengen nendang penonton yang terus terusan jalan mondar mandir nutupin layar yang ngebuat bisokop terasa seperti pertunjukan wayang orang dan (g) ngomel-ngomel ke tokoh-tokoh di layar dengan volume suara yang lebih keras dari yang sepatutnya, wis persis koyo Mbak Sumi, Mbak Imah atau Mbak Iyem yang lagi nonton film India saat Nyonyah lagi kondangan? Jawabannya tentu saja tidak. Sebuah film thriller khususnya, akan semakin menarik jika ditambah teka teki. Lebih asik lagi kalau tokoh utamanya idupnya susah. Sejauh ini saya belum menemukan film thriller seru dimana tokoh utamanya adalah seorang miliarder muda tampan jenius philanthropist nan soleh pemenang Nobel yang baru kawin sama model Victoria Secret yang tidak pernah bolong sholat taraweh-nya (Bahkan Mas Boy dan Mbak Vera aja nggak gitu-gitu amat[1]). Kondisi tokoh macam begini baru bisa jadi menarik dalam ranah film thriller jika ternyata: (a) harta si tokoh utama ternyata berasal dari hasil bisnis-nya yang illegal, yang mulai terendus oleh polisi, kompetitor usaha, KPK atau Indonesian Corruption Watch, atau (b) istrinya selingkuh dengan pria lain, yang membuat sang suami menjadi cemburu, paranoid, licik dan murderous atau (c) suatu sang tokoh utama tiba-tiba terbangun dan mendapati bahwa perusahaan yang dimilikinya telah dikendalikan orang lain (biasanya sahabatnya sendiri) tanpa sepengetahuannya dan istrinya telah dimiliki orang lain (lagi-lagi, biasanya sahabatnya sendiri) dan parahnya, sang istri mengaku tidak pernah mengenal sang tokoh utama seumur hidupnya (atau yang paling ekstrim, sang istri, anggaplah namanya Maria, mengaku bahwa dirinya dulu sempat bernama Marjono). Dari ketiga boilerplate plot film film thriller sebagaimana diuraikan di atas (dan juga banyak contoh boilerplate  lainnya),  saya paling gandrung dengan model yang ketiga (i.e. model (c)) yaitu: “Pertama Kuras Bisa Lemes” (Pemain Utama Kurang Waras Bikin Pemirsa Lantas Gemes).[2] Maksudnya, di film thriller model begini, biasanya sang tokoh utama does not have any f*cking clue of what is going on dan sialnya (atau asiknya?) penonton ditempatkan pada posisi sama clueless nya dengan sang tokoh utama. Kenapa penonton kemudian masih mau maunya rooting for such a clueless character? Karena biasanya si tokoh digambarkan sebagai orang yang baik, sincere, charming, vulnerable, caring, etc, which makes us end up sympathizing with him/her/it.  Banyak banget thriller hebring yang make scheme model begini, diantaranya Flightplan-nya Jodie Foster, Unknown-nya Liam Neeson, Shutter Island-nya Lenoardo DiCaprio, sampe duo Pintu Terlarang dan Modus Anomali yang dibesut oleh one of Indonesia’s most valuable filmmaker, Joko Anwar. Sekarang nambah lagi satu film yang memakai skema serupa, yaitu Belenggu oleh Upi Avianto.    
 
Saya tidak akan membeberkan dengan detil plot film Belenggu ini karena seperti yang temen-temen moviegoers pasti sudah pahami going to a movie like this is that it is better to have almost no clue as to what the movie is about or where it is heading, so that we can experience every confusion, jolt, twists (even the lame ones) without any heads up from any reviewer. Kasarnya, mau twist nya keren atau hanya “oke deeehh..” biarin aja penonton alami sendiri. Anyway, inti dari film Belenggu ini adalah tentang kehidupan sosok pria bernama Elang (diperankan oleh Abimana Aryasatya) yang tampaknya tinggal sendirian di sebuah rumah susun kumuh, dan selalu dihantui oleh mimpi (atau bukan mimpi?) buruk mengenai pembunuhan terhadap seorang wanita muda (Laudya Chintya Bella) dan putri semata wayangnya, aksi pembunuhan mana dilakukan oleh seseorang dalam kostum kelinci merah jambu yang tersenyum. Dengan mimpi seedan ini setiap hari, wajar saja jika raut wajah Elang sepanjang film selalu tampak seperti habis menelan seratus bungkus permen Kopiko (alias kurang tidur). Yang bikin dia semakin susah tidur? Ternyata wanita muda (dan putrinya) yang ada dalam mimpinya itu adalah salah satu penghuni di rumah susun yang ditinggali Elang tersebut. Ini membuat Elang khawatir kalau kalau mimpi buruknya selama ini merupakan ramalan atas tragedi yang akan terjadi di masa depan. To makes matters a bit more complicated, Elang juga selalu dibayangi oleh kehadiran seorang PSK (bukan, bukan Penjual Sate Kambing) misterius (Imelda Therine) yang selalu muncul di bar tempat Elang bekerja sebagai barista dan mengundang adoration yang begitu besarnya dari pria tersebut everytime he lays eyes on her. Sebenarnya apa maksud mimpi buruk yang menghantui Elang? Apa maksud penampakan kelinci merah jambu bergelar Cucu Kornet (Lucu Lucu tapi Kok Hardcore Nyet) di setiap mimpinya? Dan siapakah gadis misterius yang selalu muncul di bar tersebut? Tidak adakah yang tahu akun Facebook-nya? Apakah Elang sanggup menghadapi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas? Dan yang terpenting, puaskah penonton atas jawaban-jawaban yang diberikan sang sutradara?
 
Untuk pertanyaan terakhir, jawabannya subjektif, tergantung tingkat toleransi, preferensi dan ujung-ujungnya, selera penonton. Untuk gue pribadi, Belenggu secara keseluruhan adalah sebuah persembahan yang sangat solid. It really feels like a distant cousin to Joko Anwar’s Kala and Pintu Terlarang, not to say that the twist(s) are identically similar to those aforementioned movies. Yang mirip sebenarnya adalah setting kota antah berantahnya (seperti di film Kala, kota tempat Elang tinggal tidak pernah di declare, dan tidak tampak seperti di Indonesia). Bedanya, Belenggu lebih  manic dalam melempar clue dan membuka rahasia-rahasianya, bahkan saya merasa seperti Upi, sang sutradara seperti sengaja tidak memperdulikan kenikmatan penonton selama 30 menit pertama dan membiarkan penonton tersesat bersama Elang, bingung bersama Elang, pusing, disoriented bersamanya. Di menit-menit itu saya sempat berfikir bahwa film ini (dan sutradaranya) sedikit pretensius (its as if Upi says: “Oh lets just throw as many confusing, disjointed scenes one over the other as possible. In one minute we can do Elang’s nightmare scene, the other minute, Elang is in the real world—or is he? Lets throw in that damn bunny again. AFTER THAT we do the real world scenes”). Tapi ternyata pandangan sinis saya diputarbalikkan oleh Mbak Upi di tengah-tengah film sampai akhir, karena, menurut saya, semua pertanyaan dijawab dengan baik.  Pasti akan ada yang masih juga tidak puas, tapi film ini tetap harus dapat perhatian dari penikmat film Indonesia. I can tell that this movie is made with care, without dumbing down its audience. It is well acted (Si Pemeran Elang, Abimana Aryasatya is a revelation. Menurut saya dia punya subtlety yang tidak dimiliki oleh aktor Indonesia generasi muda pada umumnya. Jika dibanding-bandingkan, performa Abimana sebagai haunted/troubled person bahkan lebih hebat lagi dari Rio Dewanto dalam Modus Anomali ataupu Fachri Albar di Pintu Terlarang. Dan untuk Laudya Chintya Bella, dia beneran manis bener film ini. Dia lah yang memberikan secercah aura kelembutan in an otherwise a full on gloomy and creepy movie.
 
Akhir kata, saya berikan semua jempol yang saya punya kepada sang sutradara, mbak Upi Avianto, yang berdasarkan film-film dia yang sudah saya tonton (the fun debut: 30 Hari Mencari Cinta, the uber cool Realita Cinta & Rock n Roll, the almost equally cool Radit dan Jani) merupakan sutradara cewek anti menye-menye yang selalu berkembang di setiap karyanya. Oh, kecuali Serigala Terakhir yang ended up being a laughing stock back when I watched it at the theatre tapi bounce back dengan film se-niat ini, my respect has only continued to grow.

Cheers,

 


[1] Jika Anda masih paham dengan referensi ini, kemungkinan Anda termasuk ke dalam golongan usia yang (a) tidak peduli  dengan Bella dan Edward dan/atau (b) terheran-heran dengan apa bagusnya Harlem Shake dan/atau (c) bingung dengan kepopuleran grup boyband/girlband Korea.

[2] Woi maksa woi.


Kamis, 29 September 2011

JULIA'S EYES


Julia's Eyes Official Trailer

Saya nggak tau dengan anda, tapi saya suka ngerasa mesakne (alias kasihan, dalam bahasa Prancis Kromo Inggil) kalo ngeliat kondisi cewek-cewek inceran psikopat/dedemit/mertua jahat di film-film thriller (atau bahasa Jawa nya, damsel in distress). Pertama, walaupun si cewek ini cantik, baik hati dan rajin taraweh, gak bakal ada satu orangpun dari sahabat, guru dosen, polisi sampe hansip yang bakal percaya sama semua omongannya. Ini terbukti terjadi di nyaris setiap film thriller. Si cewek bisa aja jadi saksi tunggal pembunuhan seorang siswa SMA oleh Nyi Roro Kidul di lantai disko atau dapat penglihatan ala Final Destination bahwa Jakarta akan banjir setiap lima tahun sekali, namun sahabat, polisi, sampai suami yang sudah bertahun-tahun menikah dengan harmonis nya pun tidak akan percaya. Mekanisme kayak gini mungkin emang perlu, demi supaya agar, pertama, si tokoh cewek bisa berubah menjadi sosok mandiri dan kuat. Penonton pastinya akan langsung berada di belakang sang tokoh utama dan mendukung seluruh aksi-aksinya dalam menguak kebenaran (go go Power Rangers!). Namun ini juga berarti, mengingat bahwa tiada ada satu orang pun yang percaya pada kesaksian sang damsel in distress, wanita malang tersebut akan dipaksa oleh plot ala thriller untuk pergi kemana-mana sendirian. Ngecek stasiun kereta api malem-malem, sendirian. Ngecek asal-usul pembunuh/setan sendirian bahkan sampe masuk ke WC umum aja sendirian. Ini kan sudah keterlaluan namanya. Tapi, seperti kata-kata bijak orang Barat yang berbunyi: Curiosity killed the cat atau yang artinya “jangan kebanyakan nanya jadi kucing.” Becanda ding. Artinya kira-kira “Jangan banyak nanya lah kalo gak mau celaka,” sang pemeran utama wanita ini niscaya akan mendapatkan teror teror badaniah batiniah luar dalem dunia akherat atas keberanian dan rasa penasarannya itu. Those are inevitable in thrillers. Karena, menurut gua, what makes thrillers tick are, among others: (1) Kesendirian/Terisolasi, dan (2) Ketidaktahuan (sisanya tinggal diisi sendiri sesuai selera anda. Kemudian tiriskan. Sajikan selagi hangat.) Nah, di dalam film Spanyol berjudul Julia’s Eyes (Bahasa Spanyol nya Los Ojos De Julia—ini beneran) bikinan dua sutradara bernama Guillem Morales dan Oriol Paulo (terimakasih imdb) dan diproduseri oleh sang maestro asal Sumatera Utara, Guillermo Del Toro, semua situasi film thriller dimasukin semuanya—and then some. Kalo penonton disuruh megang catatan yang berisi tick boxes adegan-adegan wajib film thriller, niscaya semua kotak nya kecontreng sehabis nonton film ini. Pertanyaan selanjutnya: Is that a bad thing? Not necessarily. In fact, dengan banyaknya adegan dan situasi film thriller, Julia’s Eyes menjadi sangat, sangat, mengasyikan.

Nggak percaya? Mari siapkan buku catatan anda selagi mendengarkan plot film ini. Seorang wanita bernama Julia (diperankan oleh aktris Belen Rueda) menemukan saudara kembarnya yang bernama Sara (diperankan juga oleh Belen Rueda) tewas gantung diri di basement rumahnya. Seperti kisah thriller dan misteri pada umumnya, kematian sang saudara kembar ini tidak seperti apa yang kita kira sebelumnya. Dan Julia tahu ini. Dia merasa saudaranya tidak bunuh diri, tapi dibunuh oleh seseorang. Atau sesuatu. Tentu saja seperti kisah-kisah tegang lainnya, proses penguakan misterinya harus dibikin ribet. Sudahkah saya bilang kalau Julia bermasalah dengan indera penglihatannya? Dalam kisah ini, baik Julia maupun mendiang saudaranya, Sara, menderita kelainan pada indera penglihatan mereka, yang membuat daya pandang mereka perlahan-lahan menurun seiring berjalannya waktu, menuju kebutaan. Dan oh, stress dan panik hanya akan membuat proses kebutaan ini semakin cepat. Ah, Julia, you are so screwed. Saat Julia menceritakan kecurigaannya pada suaminya, sang suami, sebagaimana pasangan yang penyayang dan berpedoman pada sila Persatuan yang Adil dan Beradab, tidak mengindahkan keluh kesah sang istri. Pundung, Julia pun melakukan riset sendiri. Tapi tentu riset-nya tidak gampang karena semua orang yang ditemui Julia, dari mulai tetangga, pelayan, sampe anak jin sekalipun, semuanya bertingkah misterius. It’s like they know more than they are saying. Sama lah tingkahnya kayak ngebayangin Christoper Nolan ngomong:

“Selamat datang di press junket lanjutan film the Dark Knight. Saya bisa katakan di sini bahwa di film ini akan ada kejutan gila-gilaan. Salah satunya adalah kemunculan KEMBALI dari MUSUH UTAMA, BEBUYUTAN Batman, yaitu, ADALAH—YAK cukup sampai di sini saja press junket hari ini.Sekian dan wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Para penonton pun langsung adu cakar-cakaran. Ini lah perasaan yang berhasil diciptakan oleh sang pembuat film terhadap tokoh Julia dan para penonton. Sepanjang masa putar film, Julia dan penonton dibuat pengen ngedangdut: “sungguh mati aku jadi penasaraaaaaan.....” karena plot dan kondisinya seperti disalin dari buku Thriller 101 (if there is such thing) sebagaimana dijelaskan di atas. Tapi ini nggak berarti film Julia’s Eyes ini menjadi jelek karena semua tergantung skill para pembuatnya (termasuk pemainnya). Oke, anggaplah begini. Pada masa sekolah, pernahkah anda membiarkan teman sebangku anda mencontek jawaban-jawaban ujian anda tahu-tahu dia mendapatkan nilai lebih bagus dari anda? Ditambah lagi dia dapat beasiswa penuh ke universitas ternama di Bandung dan sekarang bekerja di salah satu perusahaan multinasional di Jakarta? (that mother fumbling scheming conniving little sh—ampe di mana tadi??) Nah, duo sutradara Julia’s Eyes, Guillem Morales dan Oriol Paulo ini bisa diibaratkan sebagai teman atau mantan teman anda itu. Hasil kerjaannya banyak nyalin tapi hasilnya lebih bagus daripada thriller-thriller kebanyakan. Padahal bahan-bahannya juga dari thriller-thriller kebanyakan (contoh: dalam setiap kesempatan, tokoh ceweknya selalu ditinggal sendirian sama sang suami entah si suami bilang “aku ambil kopor di parkiran dulu ya, kamu tunggu aja di hotel yang ada pelayan creepy nya ini” dan bahkan setelah sampai di parkiran, “Nah sekarang kamu tunggu di mobil, di parkiran ini ya. Aku mau ngomong sama satpamnya.” Mbok ya diajak aja gitu istrinya. Kasian itu lagi ketakutan! Di film ini juga masih ada penyakit di kala klimaks film, yaitu Penduduk Komplek Perumahan yang Kayaknya Pada Mudik Lebaran Semua Sampe-Sampe Gak Bisa Mendengar Pemeran Utama Jerit-Jerit Diserang Pembunuh/Setan/Tukang Es dan bapak-bapak polisi yang kelakuannya sungguh mirip ciri-ciri orang hamil: Telat Datangnya.) Tapi satu hal yang saya bisa jamin—anda gak bakal bisa menebak dalang/pelaku/setan-nya siapa di film ini. Saya berani garansi (*syarat dan ketentuan berlaku). Hal yang paling berhasil dari film ini adalah unsur misteri nya. Dan pay off nya pun tegang dan memuaskan. Kalo film ini diibaratkan humor, punch line nya nendang.

Salah satu pilar kekuatan Julia’s Eyes adalah pemeran utamanya, Belen Rueda. Selain film Spanyol The Orphanage (film horor yang juga creepy mampus yang juga diproduseri oleh Bang Toro (Guillermo Del Toro that is)), saya belum nonton film-film dia yang lainnya. Tapi cukuplah kalau saya bilang pelakon ini sungguh mantap memainkan sosok wanita yang di satu sisi, berdeterminasi tinggi, tapi juga penuh dengan ketakutan—karena penglihatannya yang semakin lama semakin memburuk (tunggu sampai film ini menempatkan anda di point of view Julia, yang buram dan obskur. Bohong namanya kalo nggak ngeri ngeliat sosok bayangan yang berdiri di ujung ruangan gelap—menunggu untuk menyerang Julia/Anda).

Anyway Kolong WayWay, saya ucapkan salut pada duo sutradaranya, dan sang produser Guillermo Del Toro yang sukses menelurkan film misteri/thriller yang sangat bertunangan alias engaging. It’s like as if those guys had cunningly set up mouse traps along the maze for us to step on and made sure that we like it.

Well, at least I do.

 

Minggu, 17 Juli 2011

Mencoba Me review Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2


Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 Official Trailer

Author's Note: Beda dengan review film lainnya di blog ini, review kali ini adalah untuk film baru!--Akhirnyaaa....gak telat-telat amat... Enjoy reading guys.
 
Kadang-kadang dialog gombal kala kencan di malam minggu (atau malam jum’at—untuk yang doyan demit atau yang susah bagi waktu dengan selingkuhan) macam: 

“Kamu maunya kemana malam ini?”
 
“Ah, kemana aja enak, asalkan sama kamu.”
 
…itu ada sedikit bener—atau malah—banyak benernya. Kalo dipikir-pikir lagi, bagi yang udah berpasangan lama dan sering jalan bareng, bisa jadi semua tempat makan, tempat nongkrong, sampe pangkalan ojek (kalo majikan lagi gak ada di rumah) pasti udah pernah disambangi. Yang membuat kencan itu nikmat adalah dengan siapa kita berkencan—atau kalo kita ngomonginnya sebatas pertemanan saja—dengan siapa kita nongkrong. Kalo udah nyaman dengan teman kencan/nongkrong, kita sudah sanggup melupakan fakta bahwa: (1) agenda kencan kita sebenernya cuma sebatas nonton DVD bajakan (2) itupun di kamar kos an pula (3) to make matters worse, penghuni kos yang lain pada nyanyi dan ngecengin kita dari jendela (4) tambah lagi kamar kos-nya pun terletak pas di samping kuburan dan (5) abis filmnya kelar kita baru sadar kalo yang tinggal di kos-an ini kan cuma cewek kita—trus yang daritadi nyanyiin kita dari jendela siapa dong??

...Aaaaanyway, intinya, kalo kita sudah menemukan pacar yang menyukai kita apa adanya (bukan ada apanya), pasangan ataupun teman-teman yang klik, kita bisa dengan mudah memaafkan kelemahan/kekurangan yang ada (sampai kadar tertentu pastinya), entah itu masalah tempat pertemuan yang sebenarnya itu itu saja, joke-joke yang sebenernya bikin jatuh kasihan, sampe lagu di tape atau CD player yang rasanya pengen kita patahin jadi dua. However, we endure, and we enjoy because we love the person (or the people) we are talking to. Inilah yang terjadi pada gua (dan mungkin juga terjadi pada beberapa dari anda), setelah bertahun-tahun membaca dan atau menonton serial Harry Potter. Topiknya atau temanya tentu sudah ketahuan dari mulai buku/film kelima, and yet we still want to read/see more. Tempatnya ya pastinya itu-itu saja (namely, Hogwarts) karena sudah diperkenalkan dari mulai buku pertama. Orang-orangnya? Ya dia-dia juga (karena akan aneh kalo tiba-tiba Harry Potter diganti oleh Budi Anduk) . Opening credits nya? Ya sama-sama saja. Tinggal latar langitnya aja dibikin tambah mendung in each successive films. Kenapa juga begitu banyak orang rela mengikuti kisah bocah tukang sihir ini sampai tujuh buku dan delapan film? Di film terakhirnya yang berjudul Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 ini akhirnya gua menemukan jawabannya.

Sebelum saya uraikan kesan-kesan saya pada jilid pamungkas Helikopter—halah—Harry Potter ini, mungkin sebaiknya kita baca dulu ringkasan ceritanya: setelah menghancurkan tiga dari tujuh Horcrux (i.e. objek/benda-benda yang mengandung pecahan jiwa/ruh sang penyihir kegelapan, Voldemort) di film-film sebelumnya yang mencakup sebuah buku diary (yang berhasil dihancurkan oleh Harry di film kedua: Harry Potter and the Chamber of Secrets), sebuah cincin (yang dihancurkan—walaupun tidak divisualisasikan di film maupun di buku—oleh sang mendiang kepala sekolah Hogwarts, Albus Dumbledore) dan sebuah kalung (yang dihancurkan oleh sahabat Harry yang sedikit menderita inferiority complex, Ron Weasley), Harry dan kawan-kawan kembali memburu empat Horcrux yang masih tersisa demi membinasakan Voldemort eternally, forever dan selama-lamanya.. Namun tentu saja misi perburuan Horcrux ini tidak semudah memesan bakso dan mi tek tek, karena jelas sang empunya Horcrux (i.e. Voldemort) tentu akan menghalangi misi Kang Heri dengan segala cara, termasuk mengancurkan sekolah sihir Hogwarts dengan seluruh penghuninya.

Bagi orang-orang yang sudah baca bukunya, “menanti twist yang mengejutkan” tentu sudah bukan pilihan lagi karena toh kita (i.e. yang sudah baca bukunya) sudah tahu semua plot twist atau kejutan yang akan disuguhkan di dalam cerita. Yang bisa dilakukan hanyalah berharap apakah sang sutradara (i.e. David Yates, yang sudah menyutradarai empat film Harry Potter termasuk yang ini) sanggup mengimbangi imajinasi jutaan pembaca yang sudah membaca bukunya, karena sungguh, sebenarnya para pembaca buku Harry Potter sudah membuat film hasil imajinasi mereka masing-masing saat membaca bukunya. Kita tinggal melihat apakah the director’s vision is able to measure up to our version. Jawabannya, untuk film ini, menurut saya: belum. Saya merasa, selagi menonton film ini, kepala saya terus bergumam: “Oke, abis adegan ini mereka pasti ke sini, abis itu ke sini, abis itu klimaks nya begini, abis itu si itu mati, oh si itu mati juga” and to be fair, for faithful Harry Potter readers, this thing is inevitable. Tapi cuma pilihan inilah yang kita dapat, antara lain: (1) Film Harry Potter dibikin sesuai dengan bukunya, seperti film-film adaptasi sahih lainnya—dengan resiko, kita sebagai pembaca, jujur deh, sudah sulit merasa tegang atau kaget atau terhenyak lagi—wong kita sudah tahu isinya bakal seperti apa kok. Atau pilihan kedua: (2) film Harry Potter dibikin beda jauh sama pembuatnya—yang tentu saja akan berakhir dengan demo dan pembakaran bioskop. Kita, untungnya, disuguhi pilihan pertama.

That’s not entirely a bad thing. Seperti yang saya bilang di atas tadi, ada sesuatu yang membuat banyak dari kita (Harry Potter readers and non-readers alike) rela menonton setiap film Harry Potter baru yang keluar, sampe sekarang—walaupun mungkin sudah tahu isinya bakal seperti apa. Dan sesuatu itu, menurut saya, adalah—antara lain: (1) karakter/tokoh-tokoh yang diciptakan dengan sangat sangat bagus. (2) chemistry antara tokoh-tokoh tersebut di film, dan chemistry mereka ke kita dan (3) familiarity kita sama semua hal menyangkut Harry Potter. It’s just like us with our friends or spouse. Kita bisa nyambung dengan teman-teman kita karena kita suka karakter mereka, kita punya chemistry dengan mereka dan kita (lama-lama) terbiasa dengan mereka. Apa yang terjadi jika teman/sahabat/pacar kita mendadak harus pergi jauh untuk sekolah, kerja atau bahkan diculik UFO? Tentu kita akan menemani untuk terakhir kalinya, bahkan mengantarkan ke bandara, stasiun, sampai pangkalan UFO. And in the case of the last Harry Potter movie, we go for him to the cinema.

Film ini memang jadi ajang nostalgia dan perpisahan dengan hal-hal yang berhubungan dengan film Harry Potter. Nyaris semua tokoh ataupun lokasi (sampai musik) yang sempat muncul di film-film terdahulu dimunculkan lagi di film ini dan hal-hal ini (apalagi di saat klimaks dan ending) sukses ngebuat penonton memiringkan kepala dan berkata: “Aaaaawww...” Ada juga beberapa kejutan berkenaan dengan tokoh-tokoh yang sebelumnya tampil misterius dan abu-abu (for Harry Potter readers, pasti sudah tahu apa yang saya maksud—dan adegan-adegan inilah yang menurut saya—nyaris sesuai dengan imajinasi saya saat membaca bukunya). Untuk adegan-adegan serunya seperti kejar-kejaran atau perang-perangan? Tentu sudah kurang mendebarkan lagi karena toh kita sudah tahu siapa yang selamat dan siapa yang tidak. However, special mention has to be made to the sequence involving fire that won’t die and a bunch of our heroes. Adegan itu terlihat menyeramkan bagi saya. Baguss.

All in all, this film serves as a solid entertainment. And a fitting farewell to our beloved friends, Harry Potter dan kawan-kawan. Harry, Ron dan Hermione sudah begitu akrab di mata kita sekarang, dan akhir kisah mereka ditutup dengan manis di film ini. Para pemerannya sendiri, terutama sekali Daniel Radcliffe—khusus di film ini—menurut saya memberikan performa yang mengesankan. Dia benar-benar muncul sebagai pahlawan di sini. Harry Potter versi film akhirnya bisa menyamai karakter hero yang ditulis pengarangnya: J.K. Rowling. Dan satu lagi, untuk Alan Rickman, pemeran karakter paling kompleks di buku dan di film, yaitu Profesor Snape, saya angkat topi. Menurut saya dia tampil luar biasa.

Intinya, dibalik beberapa kekurangan (mainly kurang tegang, considering that this is the last installment), film Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 tetap harus ditonton oleh penggemar Harry Potter (baik itu pembaca bukunya, atau bagi yang hanya menonton filmnya) karena—yah—karena, kemungkinan, Harry tidak akan menyambangi bioskop lagi di tahun tahun mendatang. Ini pertemuan terakhir kita dengan dia dan teman-temannya (kecuali kalau ibu J.K. Rowling atau Warner Bros membikin prolog, lanjutan atau spin-off nya) dan film ini merupakan “farewell party” digelar di bioskop di seluruh dunia. Would you miss a chance of going to your friend’s farewell party?

Dio