Nggak
ada yang ngalahin rasanya waktu kita men-discover
sesuatu yang baru. Be it a new place
to travel to, new skills to master, new things to do, or just simply new song
that we hear on the radio. That is
what I felt when I watched How to Train Your Dragon 2, the follow-up to the
2010 DreamWorks’ animated hit of the same name. A sense of discovery. Or make
it a re-discovery.
Bagi
yang nggak inget soal film pertamanya, or
simply just missed out on one of the most surprisingly inventive animated
offerings from DreamWorks (the others being the first Shrek (2001) and the
Croods (2012)), How to Train Your
Dragon berkisah tentang seorang bocah bernama Hiccup (disulih suarakan dengan
dengan cara delivery yang lempeng,
cuek dan kocak oleh Jay Baruchel—iya, cowok kurus yang bikin Seth Rogen dan
Jonah Hill berantem kayak pasutri di This
is the End (2013), anak kepala suku di pulau bernama Berk yang—beda dengan
orang Viking kebanyakan yang demen adu otot dan ngusir hama (“ngusir” as in swaying their swords and axes feverishly
dan “hama” as in dragons—they burn
the crops and steal the cattle, you see)—Hiccup lebih suka menyendiri,
“nukang” dan menemukan alat-alat canggih buat ngebuktiin diri ke bokapnya,
kepala suku di Berk bersuara bak Leonidas dari film 300. Singkatnya, Hiccup ini
kayak Thomas Alfa Edison, if Mr. Edison
were a teen, a Viking, has a dry wit, and ride dragons. Pada suatu malam,
Hiccup yang sedang menguji coba salah satu alat penangkap naga rancangannya,
tak dinyana sukses melumpuhkan seekor naga berjenis Night Fury yang konon katanya tidak mungkin ditangkap manusia karena
kecepatan terbangnya yang ngebut bak rajawali Brama Kumbara on steroids. Kecepatan terbang sang naga
ini lah yang akhirnya terganggu akibat tembakan alat Hiccup yang jitu. Hiccup,
yang tidak sampai hati menghabisi nyawa sang naga memutuskan untuk
memeliharanya dan memberikan nama Toothless (tidak bergigi)—terinspirasi dari
barisan gigi sang naga yang bisa gampang keluar-masuk. Singkat cerita, di akhir
film pertama, Hiccup menyelamatkan kampungnya dari petaka, dengan bantuan
naga-naga yang dilatihnya, dengan satu battle
wound, kehilangan satu kaki. To me,
for the supposedly kiddie movie to have its protagonist lose limbs/body part at
the end was a daring move. Konsepnya sendiri cakep: Ini tentang dua sahabat
yang saling melengkapi secara harfiah: Hiccup tidak bisa selamat di situasi
genting tanpa kemampuan terbang naganya, tapi Toothless sang naga pun juga
tidak bisa terbang sempurna tanpa penunggangnya, yaitu Hiccup dikarenakan
ekornya yang luka permanen.
When the movie was first
released, it was nominated for two Oscars (for Best Animated Feature, albeit was
beaten by the “ya-iyalah-pasti-menang”
Toy Story 3 (2010), and for Best Music Score, but was beaten by The
Social Network (2010). Saya harus bilang bahwa seharusnya film ini menang
untuk music score terbaik. Kalau ada
yang sudah sempat dengar score
albumnya, musik yang digarap komposer John Powell untuk film ini luar biasa
kerennya. Score berjudul “Test Drive”
yang mengiringi Hiccup dan Toothless saat pertama kali terbang bersama
menggunakan ekor buatan has a grand, soaring
and victorious sound dan score
“Romantic Flight” yang mengiringi Hiccup dan Astrid melayang di atas awan is warm, sweet and, well, romantic). Singkat
kata, jilid pertama How to Train Your
Dragon memukau saya yang mulai jemu dengan film animasi yang menomor
wahidkan cute factor, sulih suara
selebriti, humor slapstik tanpa
substansi (lirik sekuel-sekuelnya
Madagascar, sampe Rio). I was thoroughly
impressed with the first movie. Needless
to say that I cheered when I first saw the glorious teaser of the sequel in the
theatre. Now that the sequel is out, how does it compare?
Film
kedua ini dimulai lima tahun dari akhir film pertama. Hiccup, kini lima tahun
lebih tua, berpacaran dengan Astrid (disulihsuarakan dengan kombinasi feisty and sweet yang pas oleh America
Ferrera), hendak diangkat menjadi kepala suku oleh Stoick, sang bokap (sulih
suara oleh Gerard Butler). Tapi Hiccup yang merasa nggak punya leadership skills semumpuni bokapnya,
selalu berusaha menghindar dan memilih untuk terbang menjelajah bersama
naganya, Toothless, demi membuat what
must be a prehistoric version of google maps. Salah satu daerah baru yang
ditemukannya adalah sebuah pulau porak poranda berlapis es yang dihuni oleh gerombolan
penangkap naga beringas (surprisingly, Princess
Elsa and Princess Anna are nowhere to be found) yang dipimpin oleh pemuda
bernama Eret. Eret & the geng ini ternyata terafiliasi dengan seorang dragon master bernama Drago Bludvist
(disulih suarakan oleh Djimon Hounsou, yang dijamin sukses bikin anak-anak yang
nonton film ini trauma) yang tujuan hidupnya adalah menguasai semua naga yang
ada di dunia supaya bisa dengan mudah menjajah orang-orang yang nggak sepaham
sama dia. Alegori terhadap penguasa yang membangun kekuatan militer untuk
menekan rakyat dan bangsa lain bisa dilihat dari sini. Pun dengan keyakinan
Hiccup untuk menjalankan politik luar negeri berbasis diplomasi dan keyakinan
sang bokap bahwa nggak ada gunanya bernegosiasi dengan teroris macam Drago
Bludvist (“people who kill people without reason cannot be reasoned with,” gitu
katanya).
Singkat
kata, ada banyak adegan perang. Banyak adegan naga terbang. Banyak aerial shots pemandangan alam. Pokoknya
semua boilerplate film kolosal yang
udah dipatenkan lebih dulu oleh Lord of
the Rings. Tapi semua adegan tadi bisa kerasa punya weight, gravity and emotion due to the care applied to character
development. Ini adalah aset terbesar How
to Train Your Dragon 2. Penonton dibikin care terhadap tokoh-tokoh utama di film ini, terutama sekali Hiccup
dan Toothless. Ini dicapai melalui ekspresi mata tiap tokoh yang hidup dan
berbicara, humor slapstik tapi subtil (most
of the physical comedy occurs in the background while other important
scene/dialogue is happening), dan sulih suara yang total dari semua voice actors-nya. Jay Baruchel
menginjeksikan dimensi lain ke dalam Hiccup—tidak lagi hanya jadi vessel untuk dialog dan reaksi awkward, tapi juga hesitance and ultimately, heroism. Gerard Butler menunjukkan bahwa
pelakon film tidak hanya harus punya screen
presence tapi juga voice presence.
Karakter Stoick punya nyawa dan kehadiran karena dia. Cate Blanchett brings a strong and yet ethereal quality dalam
karakter Valka, ibu Hiccup yang tiba-tiba muncul setelah dua puluh tahun disangka
wafat. However, the star of the show is
still Toothless, seekor naga yang entah gimana oleh para animator
DreamWorks dibikin kurang ajar menggemaskannya. Kuat-kuatin batin aja saat
anak/keponakan anda jerit-jerit minta dibeliin naga buat jadi binatang piaraan.
Sedikit
nitpicking, kalaupun ada yang kurang
nendang di film ini adalah music score-nya. Music score “Test Drive” yang megah
yang ada di film pertama sayup-sayup terdengar di film kedua ini tapi di
overlap dengan vokal dan dibikin mirip lagu pop (at least that is what it sounds like in my inexperienced ear)
ngebuat adegan terbang Hiccup dan Toothless nggak semegah dahulu (then again, kata The Groove, dahulu
semua indah.. so..). Tender moments in the first movie, seperti
waktu Hiccup terbang bersama Astrid atau saat Hiccup dan Toothless melalukan “bonding
time” juga nggak banyak di film ini. Terlepas dari satu adegan Stoick (Gerard
Butler) mengingatkan istrinya akan lagu pernikahan mereka yang joyful dan infectious, kayaknya How To Train Your Dragon 2 memang sengaja
dibuat lebih gelap (bersiaplah untuk menyaksikan sebuah (atau beberapa buah) plot development(s) yang membuat film
ini secara instan memiliki sense of
maturity and realness) dan lebih mengedepankan
action bagi penontonnya. And its not
a bad thing. In fact, taken as a whole, How to Train Your Dragon 2 is frikkin’
awesome. Setuju sama salah satu kritikus film yang gue baca di metacritic.com, kalo
sekuel pertamanya aja masih sebagus ini, here’s to How to Train Your Dragon 3
to 20!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar