Belenggu Official Trailer
Thrillers are fun. Pandangan ini semakin mantap terpatri di kepala gue setelah menonton film buatan anak negeri berjudul Belenggu. Menurut gua unsur “thrill” yang menyesap ke dalam setiap karya (be it 2D movies, 3D movies, video games, sports, books, rides at the park, plays, even food, or anything we could think of) itulah yang membuat setiap kreasi sekonyong-konyong memiliki sifat interaktif dan membuat para penikmatnya atau penumpangnya atau penontonnya serta merta bereaksi. Startled. Surprised. Pleasantly so. It provides us with that extra kick, that extra jolt, that extra gasp. Dalam ranah film, saya rasa semua genre film, dari mulai drama romantis sampai komedi srimulat, dari Indiana Jones sampai Brama Kumbara-nya Indosiar, punya thrill factor which appeals to their respective target audience (Baiklah, maybe not Brama Kumbara tapi kira-kira begitulah intinya).
Thrillers are fun. Pandangan ini semakin mantap terpatri di kepala gue setelah menonton film buatan anak negeri berjudul Belenggu. Menurut gua unsur “thrill” yang menyesap ke dalam setiap karya (be it 2D movies, 3D movies, video games, sports, books, rides at the park, plays, even food, or anything we could think of) itulah yang membuat setiap kreasi sekonyong-konyong memiliki sifat interaktif dan membuat para penikmatnya atau penumpangnya atau penontonnya serta merta bereaksi. Startled. Surprised. Pleasantly so. It provides us with that extra kick, that extra jolt, that extra gasp. Dalam ranah film, saya rasa semua genre film, dari mulai drama romantis sampai komedi srimulat, dari Indiana Jones sampai Brama Kumbara-nya Indosiar, punya thrill factor which appeals to their respective target audience (Baiklah, maybe not Brama Kumbara tapi kira-kira begitulah intinya).
Lalu apakah
faktor “thrill” saja cukup untuk
memasung atensi penonton selama 90 menit plus plus sampai-sampai mereka (a)
lupa waktu (b) lupa napas, (c) lupa makan popcorn, (d) lupa pipis, (e) mendadak
galak sama istri/pacar/temen/selingkuhan yang kebanyakan nanya pake bisik-bisik,
(f) bawaannya pengen nendang penonton yang terus terusan jalan mondar mandir
nutupin layar yang ngebuat bisokop terasa seperti pertunjukan wayang orang dan
(g) ngomel-ngomel ke tokoh-tokoh di layar dengan volume suara yang lebih keras
dari yang sepatutnya, wis persis koyo Mbak Sumi, Mbak Imah atau Mbak Iyem yang
lagi nonton film India saat Nyonyah lagi kondangan? Jawabannya tentu saja
tidak. Sebuah film thriller
khususnya, akan semakin menarik jika ditambah teka teki. Lebih asik lagi kalau
tokoh utamanya idupnya susah. Sejauh ini saya belum menemukan film thriller
seru dimana tokoh utamanya adalah seorang miliarder muda tampan jenius philanthropist nan soleh pemenang Nobel yang
baru kawin sama model Victoria Secret yang tidak pernah bolong sholat taraweh-nya
(Bahkan Mas Boy dan Mbak Vera aja nggak gitu-gitu amat[1]).
Kondisi tokoh macam begini baru bisa jadi menarik dalam ranah film thriller jika ternyata: (a) harta si
tokoh utama ternyata berasal dari hasil bisnis-nya yang illegal, yang mulai terendus
oleh polisi, kompetitor usaha, KPK atau Indonesian Corruption Watch, atau (b) istrinya
selingkuh dengan pria lain, yang membuat sang suami menjadi cemburu, paranoid,
licik dan murderous atau (c) suatu
sang tokoh utama tiba-tiba terbangun dan mendapati bahwa perusahaan yang
dimilikinya telah dikendalikan orang lain (biasanya sahabatnya sendiri) tanpa
sepengetahuannya dan istrinya telah dimiliki orang lain (lagi-lagi, biasanya
sahabatnya sendiri) dan parahnya, sang istri mengaku tidak pernah mengenal sang
tokoh utama seumur hidupnya (atau yang paling ekstrim, sang istri, anggaplah
namanya Maria, mengaku bahwa dirinya dulu sempat bernama Marjono). Dari ketiga boilerplate plot film film thriller sebagaimana diuraikan di atas
(dan juga banyak contoh boilerplate lainnya), saya paling gandrung
dengan model yang ketiga (i.e. model
(c)) yaitu: “Pertama Kuras Bisa Lemes” (Pemain
Utama Kurang Waras Bikin Pemirsa Lantas Gemes).[2]
Maksudnya, di film thriller model
begini, biasanya sang tokoh utama does
not have any f*cking clue of what is going on dan sialnya (atau asiknya?)
penonton ditempatkan pada posisi sama clueless
nya dengan sang tokoh utama. Kenapa penonton kemudian masih mau maunya rooting for such a clueless character?
Karena biasanya si tokoh digambarkan sebagai orang yang baik, sincere, charming, vulnerable, caring, etc, which makes us end up sympathizing
with him/her/it. Banyak banget
thriller hebring yang make scheme model begini, diantaranya Flightplan-nya Jodie Foster, Unknown-nya Liam Neeson, Shutter Island-nya Lenoardo DiCaprio,
sampe duo Pintu Terlarang dan Modus Anomali yang dibesut oleh one of Indonesia’s most valuable filmmaker,
Joko Anwar. Sekarang nambah lagi satu film yang memakai skema serupa, yaitu
Belenggu oleh Upi Avianto.
Saya tidak akan
membeberkan dengan detil plot film Belenggu ini karena seperti yang temen-temen
moviegoers pasti sudah pahami going to a movie like this is that it is better to have almost no clue as to
what the movie is about or where it is heading, so that we can experience every confusion, jolt, twists (even the lame
ones) without any heads up from any reviewer. Kasarnya, mau twist nya keren
atau hanya “oke deeehh..” biarin aja penonton alami sendiri. Anyway, inti dari film Belenggu ini
adalah tentang kehidupan sosok pria bernama Elang (diperankan oleh Abimana
Aryasatya) yang tampaknya tinggal sendirian di sebuah rumah susun kumuh, dan
selalu dihantui oleh mimpi (atau bukan mimpi?) buruk mengenai pembunuhan
terhadap seorang wanita muda (Laudya Chintya Bella) dan putri semata wayangnya,
aksi pembunuhan mana dilakukan oleh seseorang dalam kostum kelinci merah jambu yang
tersenyum. Dengan mimpi seedan ini setiap hari, wajar saja jika raut wajah
Elang sepanjang film selalu tampak seperti habis menelan seratus bungkus permen
Kopiko (alias kurang tidur). Yang bikin dia semakin susah tidur? Ternyata wanita
muda (dan putrinya) yang ada dalam mimpinya itu adalah salah satu penghuni di
rumah susun yang ditinggali Elang tersebut. Ini membuat Elang khawatir kalau
kalau mimpi buruknya selama ini merupakan ramalan atas tragedi yang akan
terjadi di masa depan. To makes matters a
bit more complicated, Elang juga selalu dibayangi oleh kehadiran seorang
PSK (bukan, bukan Penjual Sate Kambing) misterius (Imelda Therine) yang selalu
muncul di bar tempat Elang bekerja sebagai barista dan mengundang adoration yang begitu besarnya dari pria
tersebut everytime he lays eyes on her.
Sebenarnya apa maksud mimpi buruk yang menghantui Elang? Apa maksud penampakan
kelinci merah jambu bergelar Cucu Kornet (Lucu
Lucu tapi Kok Hardcore Nyet) di setiap mimpinya? Dan siapakah gadis
misterius yang selalu muncul di bar tersebut? Tidak adakah yang tahu akun Facebook-nya? Apakah Elang sanggup
menghadapi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas? Dan yang
terpenting, puaskah penonton atas jawaban-jawaban yang diberikan sang
sutradara?
Untuk pertanyaan
terakhir, jawabannya subjektif, tergantung tingkat toleransi, preferensi dan
ujung-ujungnya, selera penonton. Untuk gue pribadi, Belenggu secara keseluruhan
adalah sebuah persembahan yang sangat solid. It really feels like a distant cousin to Joko Anwar’s Kala and Pintu Terlarang, not to say that the twist(s) are identically similar to those
aforementioned movies. Yang mirip sebenarnya adalah setting kota antah
berantahnya (seperti di film Kala, kota tempat Elang tinggal tidak pernah di declare, dan tidak tampak seperti di Indonesia).
Bedanya, Belenggu lebih manic dalam melempar clue dan membuka rahasia-rahasianya,
bahkan saya merasa seperti Upi, sang sutradara seperti sengaja tidak
memperdulikan kenikmatan penonton selama 30 menit pertama dan membiarkan
penonton tersesat bersama Elang, bingung bersama Elang, pusing, disoriented bersamanya. Di menit-menit
itu saya sempat berfikir bahwa film ini (dan sutradaranya) sedikit pretensius
(its as if Upi says: “Oh lets just throw
as many confusing, disjointed scenes one over the other as possible. In one
minute we can do Elang’s nightmare scene, the other minute, Elang is in the
real world—or is he? Lets throw in that damn bunny again. AFTER THAT we do the
real world scenes”). Tapi ternyata pandangan sinis saya diputarbalikkan
oleh Mbak Upi di tengah-tengah film sampai akhir, karena, menurut saya, semua pertanyaan dijawab dengan baik. Pasti akan ada yang masih juga tidak
puas, tapi film ini tetap harus dapat perhatian dari penikmat film Indonesia. I can tell that this movie is made with
care, without dumbing down its audience. It is well acted (Si Pemeran
Elang, Abimana Aryasatya is a revelation.
Menurut saya dia punya subtlety yang
tidak dimiliki oleh aktor Indonesia generasi muda pada umumnya. Jika
dibanding-bandingkan, performa Abimana sebagai haunted/troubled person bahkan lebih hebat lagi dari Rio Dewanto
dalam Modus Anomali ataupu Fachri Albar di Pintu Terlarang. Dan untuk Laudya
Chintya Bella, dia beneran manis bener film ini. Dia lah yang memberikan secercah
aura kelembutan in an otherwise a full on gloomy and creepy movie.
Akhir kata, saya
berikan semua jempol yang saya punya kepada sang sutradara, mbak Upi Avianto,
yang berdasarkan film-film dia yang sudah saya tonton (the fun debut: 30 Hari Mencari Cinta, the uber cool Realita Cinta & Rock n Roll, the almost equally cool Radit dan Jani) merupakan sutradara cewek
anti menye-menye yang selalu berkembang di setiap karyanya. Oh, kecuali Serigala Terakhir yang ended up being a laughing stock back when I
watched it at the theatre tapi bounce
back dengan film se-niat ini, my
respect has only continued to grow.
Cheers,
[1] Jika Anda masih paham dengan
referensi ini, kemungkinan Anda termasuk ke dalam golongan usia yang (a) tidak
peduli dengan Bella dan Edward
dan/atau (b) terheran-heran dengan apa bagusnya Harlem Shake dan/atau (c)
bingung dengan kepopuleran grup boyband/girlband Korea.
[2] Woi maksa woi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar