Kamis, 29 September 2011

JULIA'S EYES


Julia's Eyes Official Trailer

Saya nggak tau dengan anda, tapi saya suka ngerasa mesakne (alias kasihan, dalam bahasa Prancis Kromo Inggil) kalo ngeliat kondisi cewek-cewek inceran psikopat/dedemit/mertua jahat di film-film thriller (atau bahasa Jawa nya, damsel in distress). Pertama, walaupun si cewek ini cantik, baik hati dan rajin taraweh, gak bakal ada satu orangpun dari sahabat, guru dosen, polisi sampe hansip yang bakal percaya sama semua omongannya. Ini terbukti terjadi di nyaris setiap film thriller. Si cewek bisa aja jadi saksi tunggal pembunuhan seorang siswa SMA oleh Nyi Roro Kidul di lantai disko atau dapat penglihatan ala Final Destination bahwa Jakarta akan banjir setiap lima tahun sekali, namun sahabat, polisi, sampai suami yang sudah bertahun-tahun menikah dengan harmonis nya pun tidak akan percaya. Mekanisme kayak gini mungkin emang perlu, demi supaya agar, pertama, si tokoh cewek bisa berubah menjadi sosok mandiri dan kuat. Penonton pastinya akan langsung berada di belakang sang tokoh utama dan mendukung seluruh aksi-aksinya dalam menguak kebenaran (go go Power Rangers!). Namun ini juga berarti, mengingat bahwa tiada ada satu orang pun yang percaya pada kesaksian sang damsel in distress, wanita malang tersebut akan dipaksa oleh plot ala thriller untuk pergi kemana-mana sendirian. Ngecek stasiun kereta api malem-malem, sendirian. Ngecek asal-usul pembunuh/setan sendirian bahkan sampe masuk ke WC umum aja sendirian. Ini kan sudah keterlaluan namanya. Tapi, seperti kata-kata bijak orang Barat yang berbunyi: Curiosity killed the cat atau yang artinya “jangan kebanyakan nanya jadi kucing.” Becanda ding. Artinya kira-kira “Jangan banyak nanya lah kalo gak mau celaka,” sang pemeran utama wanita ini niscaya akan mendapatkan teror teror badaniah batiniah luar dalem dunia akherat atas keberanian dan rasa penasarannya itu. Those are inevitable in thrillers. Karena, menurut gua, what makes thrillers tick are, among others: (1) Kesendirian/Terisolasi, dan (2) Ketidaktahuan (sisanya tinggal diisi sendiri sesuai selera anda. Kemudian tiriskan. Sajikan selagi hangat.) Nah, di dalam film Spanyol berjudul Julia’s Eyes (Bahasa Spanyol nya Los Ojos De Julia—ini beneran) bikinan dua sutradara bernama Guillem Morales dan Oriol Paulo (terimakasih imdb) dan diproduseri oleh sang maestro asal Sumatera Utara, Guillermo Del Toro, semua situasi film thriller dimasukin semuanya—and then some. Kalo penonton disuruh megang catatan yang berisi tick boxes adegan-adegan wajib film thriller, niscaya semua kotak nya kecontreng sehabis nonton film ini. Pertanyaan selanjutnya: Is that a bad thing? Not necessarily. In fact, dengan banyaknya adegan dan situasi film thriller, Julia’s Eyes menjadi sangat, sangat, mengasyikan.

Nggak percaya? Mari siapkan buku catatan anda selagi mendengarkan plot film ini. Seorang wanita bernama Julia (diperankan oleh aktris Belen Rueda) menemukan saudara kembarnya yang bernama Sara (diperankan juga oleh Belen Rueda) tewas gantung diri di basement rumahnya. Seperti kisah thriller dan misteri pada umumnya, kematian sang saudara kembar ini tidak seperti apa yang kita kira sebelumnya. Dan Julia tahu ini. Dia merasa saudaranya tidak bunuh diri, tapi dibunuh oleh seseorang. Atau sesuatu. Tentu saja seperti kisah-kisah tegang lainnya, proses penguakan misterinya harus dibikin ribet. Sudahkah saya bilang kalau Julia bermasalah dengan indera penglihatannya? Dalam kisah ini, baik Julia maupun mendiang saudaranya, Sara, menderita kelainan pada indera penglihatan mereka, yang membuat daya pandang mereka perlahan-lahan menurun seiring berjalannya waktu, menuju kebutaan. Dan oh, stress dan panik hanya akan membuat proses kebutaan ini semakin cepat. Ah, Julia, you are so screwed. Saat Julia menceritakan kecurigaannya pada suaminya, sang suami, sebagaimana pasangan yang penyayang dan berpedoman pada sila Persatuan yang Adil dan Beradab, tidak mengindahkan keluh kesah sang istri. Pundung, Julia pun melakukan riset sendiri. Tapi tentu riset-nya tidak gampang karena semua orang yang ditemui Julia, dari mulai tetangga, pelayan, sampe anak jin sekalipun, semuanya bertingkah misterius. It’s like they know more than they are saying. Sama lah tingkahnya kayak ngebayangin Christoper Nolan ngomong:

“Selamat datang di press junket lanjutan film the Dark Knight. Saya bisa katakan di sini bahwa di film ini akan ada kejutan gila-gilaan. Salah satunya adalah kemunculan KEMBALI dari MUSUH UTAMA, BEBUYUTAN Batman, yaitu, ADALAH—YAK cukup sampai di sini saja press junket hari ini.Sekian dan wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Para penonton pun langsung adu cakar-cakaran. Ini lah perasaan yang berhasil diciptakan oleh sang pembuat film terhadap tokoh Julia dan para penonton. Sepanjang masa putar film, Julia dan penonton dibuat pengen ngedangdut: “sungguh mati aku jadi penasaraaaaaan.....” karena plot dan kondisinya seperti disalin dari buku Thriller 101 (if there is such thing) sebagaimana dijelaskan di atas. Tapi ini nggak berarti film Julia’s Eyes ini menjadi jelek karena semua tergantung skill para pembuatnya (termasuk pemainnya). Oke, anggaplah begini. Pada masa sekolah, pernahkah anda membiarkan teman sebangku anda mencontek jawaban-jawaban ujian anda tahu-tahu dia mendapatkan nilai lebih bagus dari anda? Ditambah lagi dia dapat beasiswa penuh ke universitas ternama di Bandung dan sekarang bekerja di salah satu perusahaan multinasional di Jakarta? (that mother fumbling scheming conniving little sh—ampe di mana tadi??) Nah, duo sutradara Julia’s Eyes, Guillem Morales dan Oriol Paulo ini bisa diibaratkan sebagai teman atau mantan teman anda itu. Hasil kerjaannya banyak nyalin tapi hasilnya lebih bagus daripada thriller-thriller kebanyakan. Padahal bahan-bahannya juga dari thriller-thriller kebanyakan (contoh: dalam setiap kesempatan, tokoh ceweknya selalu ditinggal sendirian sama sang suami entah si suami bilang “aku ambil kopor di parkiran dulu ya, kamu tunggu aja di hotel yang ada pelayan creepy nya ini” dan bahkan setelah sampai di parkiran, “Nah sekarang kamu tunggu di mobil, di parkiran ini ya. Aku mau ngomong sama satpamnya.” Mbok ya diajak aja gitu istrinya. Kasian itu lagi ketakutan! Di film ini juga masih ada penyakit di kala klimaks film, yaitu Penduduk Komplek Perumahan yang Kayaknya Pada Mudik Lebaran Semua Sampe-Sampe Gak Bisa Mendengar Pemeran Utama Jerit-Jerit Diserang Pembunuh/Setan/Tukang Es dan bapak-bapak polisi yang kelakuannya sungguh mirip ciri-ciri orang hamil: Telat Datangnya.) Tapi satu hal yang saya bisa jamin—anda gak bakal bisa menebak dalang/pelaku/setan-nya siapa di film ini. Saya berani garansi (*syarat dan ketentuan berlaku). Hal yang paling berhasil dari film ini adalah unsur misteri nya. Dan pay off nya pun tegang dan memuaskan. Kalo film ini diibaratkan humor, punch line nya nendang.

Salah satu pilar kekuatan Julia’s Eyes adalah pemeran utamanya, Belen Rueda. Selain film Spanyol The Orphanage (film horor yang juga creepy mampus yang juga diproduseri oleh Bang Toro (Guillermo Del Toro that is)), saya belum nonton film-film dia yang lainnya. Tapi cukuplah kalau saya bilang pelakon ini sungguh mantap memainkan sosok wanita yang di satu sisi, berdeterminasi tinggi, tapi juga penuh dengan ketakutan—karena penglihatannya yang semakin lama semakin memburuk (tunggu sampai film ini menempatkan anda di point of view Julia, yang buram dan obskur. Bohong namanya kalo nggak ngeri ngeliat sosok bayangan yang berdiri di ujung ruangan gelap—menunggu untuk menyerang Julia/Anda).

Anyway Kolong WayWay, saya ucapkan salut pada duo sutradaranya, dan sang produser Guillermo Del Toro yang sukses menelurkan film misteri/thriller yang sangat bertunangan alias engaging. It’s like as if those guys had cunningly set up mouse traps along the maze for us to step on and made sure that we like it.

Well, at least I do.

 

Minggu, 17 Juli 2011

Mencoba Me review Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2


Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 Official Trailer

Author's Note: Beda dengan review film lainnya di blog ini, review kali ini adalah untuk film baru!--Akhirnyaaa....gak telat-telat amat... Enjoy reading guys.
 
Kadang-kadang dialog gombal kala kencan di malam minggu (atau malam jum’at—untuk yang doyan demit atau yang susah bagi waktu dengan selingkuhan) macam: 

“Kamu maunya kemana malam ini?”
 
“Ah, kemana aja enak, asalkan sama kamu.”
 
…itu ada sedikit bener—atau malah—banyak benernya. Kalo dipikir-pikir lagi, bagi yang udah berpasangan lama dan sering jalan bareng, bisa jadi semua tempat makan, tempat nongkrong, sampe pangkalan ojek (kalo majikan lagi gak ada di rumah) pasti udah pernah disambangi. Yang membuat kencan itu nikmat adalah dengan siapa kita berkencan—atau kalo kita ngomonginnya sebatas pertemanan saja—dengan siapa kita nongkrong. Kalo udah nyaman dengan teman kencan/nongkrong, kita sudah sanggup melupakan fakta bahwa: (1) agenda kencan kita sebenernya cuma sebatas nonton DVD bajakan (2) itupun di kamar kos an pula (3) to make matters worse, penghuni kos yang lain pada nyanyi dan ngecengin kita dari jendela (4) tambah lagi kamar kos-nya pun terletak pas di samping kuburan dan (5) abis filmnya kelar kita baru sadar kalo yang tinggal di kos-an ini kan cuma cewek kita—trus yang daritadi nyanyiin kita dari jendela siapa dong??

...Aaaaanyway, intinya, kalo kita sudah menemukan pacar yang menyukai kita apa adanya (bukan ada apanya), pasangan ataupun teman-teman yang klik, kita bisa dengan mudah memaafkan kelemahan/kekurangan yang ada (sampai kadar tertentu pastinya), entah itu masalah tempat pertemuan yang sebenarnya itu itu saja, joke-joke yang sebenernya bikin jatuh kasihan, sampe lagu di tape atau CD player yang rasanya pengen kita patahin jadi dua. However, we endure, and we enjoy because we love the person (or the people) we are talking to. Inilah yang terjadi pada gua (dan mungkin juga terjadi pada beberapa dari anda), setelah bertahun-tahun membaca dan atau menonton serial Harry Potter. Topiknya atau temanya tentu sudah ketahuan dari mulai buku/film kelima, and yet we still want to read/see more. Tempatnya ya pastinya itu-itu saja (namely, Hogwarts) karena sudah diperkenalkan dari mulai buku pertama. Orang-orangnya? Ya dia-dia juga (karena akan aneh kalo tiba-tiba Harry Potter diganti oleh Budi Anduk) . Opening credits nya? Ya sama-sama saja. Tinggal latar langitnya aja dibikin tambah mendung in each successive films. Kenapa juga begitu banyak orang rela mengikuti kisah bocah tukang sihir ini sampai tujuh buku dan delapan film? Di film terakhirnya yang berjudul Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 ini akhirnya gua menemukan jawabannya.

Sebelum saya uraikan kesan-kesan saya pada jilid pamungkas Helikopter—halah—Harry Potter ini, mungkin sebaiknya kita baca dulu ringkasan ceritanya: setelah menghancurkan tiga dari tujuh Horcrux (i.e. objek/benda-benda yang mengandung pecahan jiwa/ruh sang penyihir kegelapan, Voldemort) di film-film sebelumnya yang mencakup sebuah buku diary (yang berhasil dihancurkan oleh Harry di film kedua: Harry Potter and the Chamber of Secrets), sebuah cincin (yang dihancurkan—walaupun tidak divisualisasikan di film maupun di buku—oleh sang mendiang kepala sekolah Hogwarts, Albus Dumbledore) dan sebuah kalung (yang dihancurkan oleh sahabat Harry yang sedikit menderita inferiority complex, Ron Weasley), Harry dan kawan-kawan kembali memburu empat Horcrux yang masih tersisa demi membinasakan Voldemort eternally, forever dan selama-lamanya.. Namun tentu saja misi perburuan Horcrux ini tidak semudah memesan bakso dan mi tek tek, karena jelas sang empunya Horcrux (i.e. Voldemort) tentu akan menghalangi misi Kang Heri dengan segala cara, termasuk mengancurkan sekolah sihir Hogwarts dengan seluruh penghuninya.

Bagi orang-orang yang sudah baca bukunya, “menanti twist yang mengejutkan” tentu sudah bukan pilihan lagi karena toh kita (i.e. yang sudah baca bukunya) sudah tahu semua plot twist atau kejutan yang akan disuguhkan di dalam cerita. Yang bisa dilakukan hanyalah berharap apakah sang sutradara (i.e. David Yates, yang sudah menyutradarai empat film Harry Potter termasuk yang ini) sanggup mengimbangi imajinasi jutaan pembaca yang sudah membaca bukunya, karena sungguh, sebenarnya para pembaca buku Harry Potter sudah membuat film hasil imajinasi mereka masing-masing saat membaca bukunya. Kita tinggal melihat apakah the director’s vision is able to measure up to our version. Jawabannya, untuk film ini, menurut saya: belum. Saya merasa, selagi menonton film ini, kepala saya terus bergumam: “Oke, abis adegan ini mereka pasti ke sini, abis itu ke sini, abis itu klimaks nya begini, abis itu si itu mati, oh si itu mati juga” and to be fair, for faithful Harry Potter readers, this thing is inevitable. Tapi cuma pilihan inilah yang kita dapat, antara lain: (1) Film Harry Potter dibikin sesuai dengan bukunya, seperti film-film adaptasi sahih lainnya—dengan resiko, kita sebagai pembaca, jujur deh, sudah sulit merasa tegang atau kaget atau terhenyak lagi—wong kita sudah tahu isinya bakal seperti apa kok. Atau pilihan kedua: (2) film Harry Potter dibikin beda jauh sama pembuatnya—yang tentu saja akan berakhir dengan demo dan pembakaran bioskop. Kita, untungnya, disuguhi pilihan pertama.

That’s not entirely a bad thing. Seperti yang saya bilang di atas tadi, ada sesuatu yang membuat banyak dari kita (Harry Potter readers and non-readers alike) rela menonton setiap film Harry Potter baru yang keluar, sampe sekarang—walaupun mungkin sudah tahu isinya bakal seperti apa. Dan sesuatu itu, menurut saya, adalah—antara lain: (1) karakter/tokoh-tokoh yang diciptakan dengan sangat sangat bagus. (2) chemistry antara tokoh-tokoh tersebut di film, dan chemistry mereka ke kita dan (3) familiarity kita sama semua hal menyangkut Harry Potter. It’s just like us with our friends or spouse. Kita bisa nyambung dengan teman-teman kita karena kita suka karakter mereka, kita punya chemistry dengan mereka dan kita (lama-lama) terbiasa dengan mereka. Apa yang terjadi jika teman/sahabat/pacar kita mendadak harus pergi jauh untuk sekolah, kerja atau bahkan diculik UFO? Tentu kita akan menemani untuk terakhir kalinya, bahkan mengantarkan ke bandara, stasiun, sampai pangkalan UFO. And in the case of the last Harry Potter movie, we go for him to the cinema.

Film ini memang jadi ajang nostalgia dan perpisahan dengan hal-hal yang berhubungan dengan film Harry Potter. Nyaris semua tokoh ataupun lokasi (sampai musik) yang sempat muncul di film-film terdahulu dimunculkan lagi di film ini dan hal-hal ini (apalagi di saat klimaks dan ending) sukses ngebuat penonton memiringkan kepala dan berkata: “Aaaaawww...” Ada juga beberapa kejutan berkenaan dengan tokoh-tokoh yang sebelumnya tampil misterius dan abu-abu (for Harry Potter readers, pasti sudah tahu apa yang saya maksud—dan adegan-adegan inilah yang menurut saya—nyaris sesuai dengan imajinasi saya saat membaca bukunya). Untuk adegan-adegan serunya seperti kejar-kejaran atau perang-perangan? Tentu sudah kurang mendebarkan lagi karena toh kita sudah tahu siapa yang selamat dan siapa yang tidak. However, special mention has to be made to the sequence involving fire that won’t die and a bunch of our heroes. Adegan itu terlihat menyeramkan bagi saya. Baguss.

All in all, this film serves as a solid entertainment. And a fitting farewell to our beloved friends, Harry Potter dan kawan-kawan. Harry, Ron dan Hermione sudah begitu akrab di mata kita sekarang, dan akhir kisah mereka ditutup dengan manis di film ini. Para pemerannya sendiri, terutama sekali Daniel Radcliffe—khusus di film ini—menurut saya memberikan performa yang mengesankan. Dia benar-benar muncul sebagai pahlawan di sini. Harry Potter versi film akhirnya bisa menyamai karakter hero yang ditulis pengarangnya: J.K. Rowling. Dan satu lagi, untuk Alan Rickman, pemeran karakter paling kompleks di buku dan di film, yaitu Profesor Snape, saya angkat topi. Menurut saya dia tampil luar biasa.

Intinya, dibalik beberapa kekurangan (mainly kurang tegang, considering that this is the last installment), film Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 tetap harus ditonton oleh penggemar Harry Potter (baik itu pembaca bukunya, atau bagi yang hanya menonton filmnya) karena—yah—karena, kemungkinan, Harry tidak akan menyambangi bioskop lagi di tahun tahun mendatang. Ini pertemuan terakhir kita dengan dia dan teman-temannya (kecuali kalau ibu J.K. Rowling atau Warner Bros membikin prolog, lanjutan atau spin-off nya) dan film ini merupakan “farewell party” digelar di bioskop di seluruh dunia. Would you miss a chance of going to your friend’s farewell party?

Dio

Sabtu, 06 November 2010

The Children


The Children Official Trailer

Semua yang demen nonton film pasti sadar bahwa ada beberapa hal yang dengan sengaja, sangat jarang atau bahkan tidak pernah ditunjukkan di dalam sebuah film. Mungkin karena, kalau hal tersebut ditunjukkan, bisa membuat film yang bersangkutan kehilangan greget, dicap konyol atau bahkan dianggap amoral. Contoh, tidak pernah ada kejadian seorang pendekar atau tentara salah tusuk atau salah tembak temennya sendiri dalam adegan peperangan yang serba cepat. Tidak pernah ada yang menunjukkan bagaimana Supermen mengancingkan kemejanya kembali (yang pasti udah jebol karena dirobek paksa) ketika ingin kembali jadi Clark setelah menyelamatkan dunia dari serangan misil-nya Lex Luthor. Tidak pernah ada adegan memperlihatkan Tarzan dan pasukan Sparta melakukan MCK. Tidak pernah juga ada adegan pembunuh berantai menelepon ke rumah korban tapi diangkat oleh anak TK atau pembantu (kecuali pembantunya remaja, cantik dan jago jerit-jerit). DAN, tidak pernah ada film mainstream yang secara eksplisit menunjukkan orang dewasa melukai anak-anak usia playgroup. “Prinsip Sopan Santun Film” yang terakhir saya sebut ini, akhirnya ditumbangkan oleh sebuah film inggris berjudul The Children.
 
The Children memiliki plot yang sekilas serupa dengan film tentang bocah-bocah uedhyan yang demen bikin setres orangtuanya (contoh The Omen, Children of the Corn, Village of the Damned, Orphan, sampai Dora the Exporer— lagian kerjaannya kelayapan ke hutan mulu sih. Gimana orangtuanya gak deg-degan coba). Namun sutradaranya membuat film ini berjalan dua kali lebih jauh, melompati pakem yang bahkan haram hukumnya untuk dilewati film-film horor kelas ekstrim sekalipun.

Film ini dimulai dengan berkumpulnya dua keluarga di sebuah rumah/vila di tengah hutan bersalju untuk merayakan tahun baru bersama. Masing-masing keluarga terdiri dari suami istri dengan anak-anak mereka yang kebanyakan usia playgroup sampai SD. Anak yang paling besar adalah seorang remaja putri bergaya emo sudah memasuki usia SMU. Sang remaja putri, sebagaimana anak-anak gaoel seusianya, tidak menyukai acara kumpul-kumpul keluarga seperti ini. Si putri lebih suka pergi partay dengan teman-temannya daripada bercengkerama dengan sepupu-sepupu hiperaktif yang tampaknya terlalu banyak menegak Kratingdaeng. Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur dan Cinta Fitri season 6 sudah semakin ngawur. Sang remaja tidak punya pilihan lain selain menggerutu dan sms an dengan temannya, berharap bisa dijemput keesokan harinya. Sayang, impiannya untuk bisa gila-gilaan di pesta terpaksa kelelep di Kali Sunter karena ternyata apa yang terjadi di dalam villa bersalju itu benar-benar jauh lebih sarap daripada konser trio maut Julia Perez, Aura Kasih dan Bang Haji Rhoma sekalipun.

Kegilaan itu, sebagaimana sudah disinyalkan dari judul filmnya, bermula dari anak-anak Teri Asin (Terlalu Imut dan Asli ngegemeSin) yang tiba-tiba saja berubah menjadi lebih liar daripada banteng rodeo. Dalam hitungan jam setelah berkumpul di villa tersebut, satu per satu anak-anak mulai membuat kacau suasana dengan menjerit-jerit, menangis, dan meronta-ronta. Para orangtua, sebagaimana umumnya orang tua, menganggap bahwa buah hati mereka hanya bersikap seperti layaknya anak-anak (yaitu..well.. senang menjerit, menangis dan meronta). Namun kemudian anak-anak tersebut mulai menyakiti. Kemudian melukai. Dan kemudian membunuh.

Sampai di sini, anda pasti sudah tahu hal-hal tabu macam apa yang ditunjukkan dalam The Children. Adegan anak-anak menyakiti orang dewasa mungkin sudah sering anda lihat di berbagai film horor (seperti the Omen, the Exorcist, Orphan, Power Puff Girls sampai Bayi Ajaib) tapi kemungkinan anda belum pernah melihat apa yang terjadi jika para orangtua membalas perbuatan anak-anak mereka sendiri dalam keadaan terdesak. Pertanyaan mengerikan inilah yang dilempar oleh Tom Shankland, sutradara film The Children, kepada penonton: Apakah anda tega menyakiti buah hati anda sendiri jika mereka dengan sengaja membahayakan nyawa anda?

Di dalam film ini, pertanyaan di atas dijawab dengan memperlihatkan berbagai adegan, salah satunya adegan dimana seorang ibu, yang benar-benar dalam keadaan terluka dan terpojok, tidak mampu (atau tidak mau) membela dirinya saat sekumpulan anak berjalan mendekat sambil menghunuskan pisau. Atau betapa para orangtua merasa dirinya bagai monster ketika mereka benar-benar menyakiti anak-anak mereka. Film The Children ini berulangkali membuat saya meremas mulut saya, mencegahnya supaya tidak jatuh menganga, bukan karena digarap secara eksploitatif, murahan dan hanya mengejar shock value (as if the director is saying: “Look i’m cutting edge artist, I break boundaries!”). Sebaliknya, film ini digarap dengan skillful, dan penuh gaya (ada beberapa shot-shot keren yang membuat penonton merasa melihat adegan luar biasa sadis, yang ternyata—jika ditonton ulang—adegan luar biasa sadis itu tidak pernah diperlihatkan). Hal ini yang juga dijadikan senjata oleh Tom Shankland, sang sutradara. Dia tahu betapa tidak nyamannya penonton jika ada anak-anak kecil dimasukkan ke dalam film horor. Dia tahu bahwa kita (penonton) punya batas toleransi yang minim terhadap adegan kekerasan terhadap anak-anak. Dan, di dalam film ini, ketika tiba saatnya para orangtua untuk membela diri, penonton (atau setidaknya saya) sudah dibuat begitu miris dengan apa yang akan terjadi. It’s like we knew this moment will come. We just didn’t think the director would dare to put it on screen. And then he does.

Ada beberapa sentuhan kecil yang turut menaikkan tensi film The Children. Tokoh anak-anak yang secara mendadak berubah anarkis di film ini diceritakan tetap merupakan anak-anak. Ini berarti mereka sebenarnya memiliki kekuatan setara anak-anak normal lainnya. Mereka bukan personifikasi setan, iblis ataupun babi ngepet—yang seringkali dipergunakan sebagai justifikasi untuk memusnahkan mereka di film-film lain—melainkan “hanya” sekumpulan anak-anak biasa yang tampaknya terserang suatu penyakit yang membuat mereka menggila (film ini tidak pernah menjelaskan mengenai apa yang sebenarnya yang menyerang anak-anak tersebut, yang menurut saya malah menaikkan aura “What the F*ck is Going on” yang menyelimuti film ini).

Akhir kata, saya angkat topi untuk sang sutradara, bukan karena saya menyukai topik atau isu yang dia angkat, tapi karena, sebagai penggemar film bergenre seperti ini, saya senang melihat sineas yang berani menggodok ide baru yang—terus terang, agak gila—seperti ini dan menggarapnya dengan baik dan enak dinikmati (untuk penggemar horor). Saya akan mencatat nama Tom Shankland dalam daftar must watch director di kepala saya dan menunggu film apalagi yang akan dihasilkannya setelah ini. Seorang sutradara Indonesia (yang bisa anda follow twitter-nya) mengatakan kurang lebih seperti ini (very loose quote): “Sebuah premis yang menarik adalah premis yang menggambarkan tokoh-tokoh utamanya, keadaan apa yang menimpa mereka, dan bagaimana sulitnya mereka terbebas dari keadaan tersebut, semuanya terangkum dalam satu kalimat. Kalau prinsip ini diterapkan pada film The Children, menurut saya film ini memiliki premis film horor yang dahsyat.
 

Sabtu, 26 Juni 2010

LEGENDA SUNDEL BOLONG



Legenda Sundel Bolong Official Trailer

PROLOG: Ulasan ini saya buat pada tahun 2007 menjelang lebaran. Baru saja ketemu dan langsung saya upload sebelum keburu hilang. Mohon maaf kalau bahasa-nya masih belon nyekolah. Maklumlah..saat itu saya masih belum bisa bahasa Indonesia (bisanya bahasa Swahili). Anyway, enjoy.  
Sedikit intermezo: Saya yakin seyakin-yakinnya, buat orang yang otaknya waras, pasti langsung malingin muka ato minimal istigfar waktu ngeliat poster film berjudul "Legenda Sundel Bolong". Bukan lantaran takut atopun ngeri, tapi lebih kepada "Ya Oloh Gusti..ternyata industri film kita sudah kena kiamat sugro.." Gua termasuk orang yang menyayangkan "parade horor" di waktu Lebaran ini. Gimana enggak, hari raya yang mestinya dipenuhi tontonan yang membangkitkan silahturahmi dan persodaraan malah dipadati dengan tontonan yang memicu silahturahmi (dengan golok) dan persodaraan (dengan setan). Di Lebaran kali ini kita dijejelin Kuntilanak, Pocong, Jelangkung 3 dan sekarang...Sundel Bolong. Dan gua belon menghitung jurik dan demit lainnya yang udah ngantri pengen maen pelem bulan depan. Heran gua. Perasaan di negara barat sana, kalo lagi libur Christmas, film-filmnya didomonasi sama film keluarga. Home Alone lah, Santa Claus lah, Narnia lah... Pokoknya film-film untuk keluarga yang bisa bikin penonton mendapat pencerahan setelah keluar bioskop. Beda dengan libur Lebaran di Indonesia yang film-filmnya bisa ngebuat satu keluarga kesurupan semua sepulang dari bioskop. Balik lagi ke Legenda Sundel Bolong, ini adalah film horor kedua dari Hanung Bramantyo, setelah pernah membuat film horor Lentera Merah, yang sama seremnya sama bangke tokek. Jangan dulu protes sama judulnya yang ndeso banget atopun sama posternya yang mirip film-film kelas Buaran. Judulnya menurut gua sudah cukup representatif, walaupun memang kurang elegan (alah, judul2 film horor barat kayak "Vampires" sama "Ginger Snaps" kalo di-Indonesiain artinya kan "Kalong" dan "Jahe Gila". Kampung juga kan?). Justru menurut gua, judul "Sundel Bolong" udah bisa langsung menyentuh rasa ke-Indonesiaan kita. Buat orang yang lahir dan besar di Indonesia, walopun orang gedongan sekalipun, pasti udah pernah mendengar tentang setan awewe berpunggung seksi tersebut. Jadinya pasti udah langsung familiar. Nah, sekarang pertanyaannya, apakah isi filmnya udah cukup me-representasikan sosok setan yang kita kenal sejak masih nyusu emak??
Jawabannya adalah
IYA.
BANGET
SUMPAH.

Jangan salah, gua sangat mengagumi film Sundel Bolong versi Suzzana. Pas nonton film Malem Satu Suro di TV, gua sampe mules-mules saking takutnya. Kelar nonton, gua langsung parno se-parno parno nya, kayak ada orang yang mengintai pengen ngebunuh gua. Iya. Setakut itu. Tapi pas udah rada gedean (baca: mahasiswa) dan gua nonton film itu lagi, yang ada gua malah ngikik-ngikik kayak kuntilanak. Terutama pada adegan di mana Suketi (Yang Mulia Ratu Setan Suzzana) berubah jadi Sundel Bolong gara-gara pakunya dicabut, trus anaknya yang bernama Rio (yang scarily, identik sama nama gua) pulang sekolah dan ngeliat kondisi ibunya. Si Rio, sebagaimana anak-anak waras dan cerdas lainnya, langsung menelepon bapaknya dan terjadilah percakapan yang harusnya masuk ke dalam "Movies' Greatest Dialogue":
Kring..kriiiinggg...
Bapak: Halo? Rio??
Rio: Papaa...Papah cepat pulang Paaa...
Bapak: Hah? Ada apa Rio??
Rio: Mama, Pa... Mama... Mama jadi setaan..
Bapak: HAH?
Rio: Betul Pa. Mama...Mama jadi setaaan
Bapak: Ah, coba..coba.. Papa mau bicara sama Bibi.
Sang babysitter yang disinyalir lebih waras pun akhirnya mengambil telepon. Tapi ternyata dialognya sama aja.
Bibi: Pak? Betul Pak. Ibu jadi setan...
Bapak: Aih, cape dueeeh Coba sini, saya mau bicara sama ibu
Bibi memberikan telepon pada ibu.
Bapak: Halo Mama?
Ibu: Betul Paa... Saya jadi setaan..
 (yang ini becanda).

Tapi aside from the high cheesse factor, gua tetep mengingat Malem Satu Suro (dan film-film Suzzana lainnya) sebagai film laknat yang sempat ngebuat gua dehidrasi sehabis nonton. Dan guess what? Gua mendapatkan hal yang serupa setelah nonton Legenda Sundel Bolong buatan Hanung. Dari mulai pemilihan setting yang tahun 1965, di pedesaan Jawa Barat, gua udah langsung punya feel yang bagus akan film ini. Feel nya kena banget. Indonesia banget. Ndeso banget. Persis kayak film-film horor lokal jaman dulu.

Ceritanya tentang Imah (Jian Batari) penari ronggeng asal Banjar dan Sarpah (Baim) seorang pemetik teh yang menjalin kasih dan menikah, hingga akhirnya memutuskan untuk bekerja pada tuan tanah bernama Danapati (Tio Pakusadewo). Yang tidak diketahui Sarpa adalah, ternyata Danapati si tuan tanah ini adalah seorang womanizer alias demen cewek (kalo demen betere namanya energizer.. haha. Garing, I know). Jadi dengan akal bulusnya, dikirimlah Sarpa ke Sumatra disuruh buat ngambil bibit teh di sana. Sementara si Sarap--eh Sarpa pergi, Danapati si womanizer itu malah menodai kemurnian Imah, dipake dan disiksa sampe bengkak bengkak. Gak lama kemudian, di desa yang tadinya adem ayem itu, tiba-tiba aja muncul teror dari sosok wanita misterius penari ronggeng yang dikenal sebagai...SARAS 008. Ya enggaklah. Sundel Bolong.

Yang bikin gua salut dengan film ini adalah kemauan sutradara dan kru nya dalam bekerja pol polan dan gak nyari shotcut alias jalan gampang. Skenarionya bisa aja di set kayak horor generik kebanyakan yaitu bersetting di jakarta, dan diisi oleh karakter-karakter modern (mostly anak-anak muda cakep tapi rada-rada bloon) yang ceritanya adalah: terjebak di rumah tua, hotel, atau apalah, dan akhirnya ketemu sama Sundel Bolong. Jadilah film Legenda Sundel Bolong. Tapi ternyata Hanung memilih cara yang perlu lebih banyak usaha dan keringet. Ceritanya dibikin di tahun 1965 (PKI?). Settingnya dibikin di Jawa Barat dengan lanskap kebun teh dan kampung. Alhasil, casing filmnya jadi beda banget sama film horor kebanyakan. "Rasa horor" nya bisa langsung masuk tanpa mesti kebanyakan ngomong dan explanation. Emang dari sononya alam kita emang keliatan (dan terasa) mistis bukan? Nama Sundel Bolong yang ndeso banget itu pun tidak lagi menjadi nama yang "norak" di alam filmnya, tapi kembali menjadi suatu makhluk yang "deket", "ada" dan "bikin ngeri".

Filmnya sendiri bukan tanpa kelemahan. Sama kayak film horor lain (film Hollywood juga), film ini punya banyak koleksi "adegan pelecehan logika" dan storyline yang "Tiba-tiba-Kok-Selese-Terus-Gimana-Dong-Akhirnya" dan juga adegan "pembunuhan" oleh hantu yang tetep aja cupu (kamera bergerak ke muka orang yang lagi jerit-jerit, lalu blackout. Semua film horor lokal doyan banget pake yang begituan. Hemat efek dan hemat waktu kali ye). Tapi bagi gua, saat nonton film ini, semua itu gak jadi masalah. Gua terlanjur terhipnotis dengan gambar-gambar yang disajikan. Gua gak protes juga pada gaya dialog tokoh-tokohnya yang kadang-kadang "Nyunda Pisan" kadang-kadang "EYD". Gua merasa Hanung telah berhasil membangun sebuah alam, dimana semuanya mungkin dan sah-sah aja terjadi. 
      
Kesimpulannya, Legenda Sundel Bolong adalah sebuah tontonan horor lokal yang berhasil. Berhasil bikin nutup kuping, berhasil bikin nganga dan berhasil bikin gua ngerasa uneasy setelah keluar dari bioskop yang gelap. Tahun ini, Legenda Sundel Bolong adalah THE horror movie to watch. Along with Kuntilanak 2 karya Rizal Mantovani (tentu saja dengan kadar cheesse yang lebih banyak daripada martabak manis spesial, tapi I couldn't help it. Kuntilanak 2 is also fun to watch). Tapi gua tetap menempatkan Sundel Bolong di posisi juara.

Akhirnya Malem Satu Suro punya tandingan.