Banyak yang bilang “Udah nggak
ada lagi yang benar-benar baru di dunia ini”. Sampai derajat tertentu, saya
setuju. Sesuatu yang benar-benar baru (seperti internet pada tahun 1950 an misalnya--kata
Wikipedia) mungkin masih harus menunggu entah berapa puluh tahun lagi. Sambil
menunggu ditemukannya hal baru, para konsumen perlu dikasih kompensasi berupa
inovasi atau pemukhtahiran dari apa yang sudah ada, secara reguler. Nggak, kita
nggak ujug-ujug minta Iphone yang batere nya bisa tahan selama sebulan, atau
Siri yang tiba-tiba jadi lancar bahasa Indonesia. Tapi setidaknya, harusnya bisa
lah ada update minor seperti tombol
edit di Twitter, tempat naro foto panoramic di Instagram dan fitur recall di Outlook yang actually works. Konsumen
nggak minta sesuatu yang completely, new.
“Completely new” sounds untested,
alien and therefore—to my pathetic, spineless, ball-less mind--scary. I want “completely new” to happen to other
people first. But I’m all for innovation
and creativity. Pakai semua yang sudah ada, kasih nilai tambah. Kalo yang
ngeramu tangannya jago, chances are, hasilnya
bikin konsumen hepi, and they will come
back for more.
Take this movie “Headshot” for instance. Para pembuatnya sangat
cerdik dan efisien. They work with what
they know. Mereka tahu benar ada film unyu
berjudul “The Raid” dan “The Raid 2”, film aksi buatan dalam
negeri yang masing-masing sukses ditonton lebih dari satu juta pasang mata di
Indonesia, kata internet. Mereka mahfum bahwa kedua film tadi diperankan oleh
Iko Uwais ditemani--di film kedua, at
least—oleh Julie Estelle, Very Tri Yulisman, dan Zack Lee. Daripada
coba-coba aktor lain yang belum terbukti keandalan fisiknya, kenapa tidak pakai
saja aktor-aktor yang sudah main di film tersebut? Toh cerita dan nama karakternya
akan beda. Tambah lagi, in the creators’
defense, banyak sutradara lain yang menggunakan aktor-aktor yang sama untuk
film ber-genre serupa (tengok lah Oom
Liam Neeson nggak tau udah main di berapa film action selepas “Taken” atau Tom Cruise, yang setelah “Mission Impossible” jadi hobi banget
nyelamatin dunia). Kalau filmnya menghibur, penonton akan tetap legowo merogoh
kocek sedalam apapun untuk menonton filmya di bioskop. Apakah strategi para
pembuat film “Headshot” berhasil?
Pertama dari ceritanya dulu,
seorang pemuda berparas mirip jagoan di film The Raid, terkapar koma di rumah sakit di sebuah pulau selama dua
bulan. Ia dirawat oleh seorang dokter muda cantik (karena kalau tidak cantik,
filmnya akan berhenti di sini saja). Namanya dokter Ailin (diperankan oleh
Chelsea Islan, yang menurut saya parasnya lebih cocok untuk memerankan
mahasiswi). Suatu hari sang pemuda terbangun dari koma dan tidak ingat siapa
namanya dan dari mana ia berasal. Sang dokter memberikan nama Ishmael kepada
sang pemuda, diambil dari nama salah satu tokoh novel Moby Dick yang kebetulan lagi dibaca oleh sang dokter (entah apa
yang terjadi jika mbak dokter kebetulan lagi baca komik Kobo Chan). Dokter
Ailin tidak menyadari bahwa Ishmael sedang dicari-cari sekumpulan orang yang
ingin menghabisinya. Sekumpulan orang-orang ini dipimpin oleh seorang pria paruh
baya karismatik bernama Mr. Lee (diperankan dengan baik sekali menurut saya
oleh aktor Singapura (kata Liputan6.com) bernama Sunny Pang). Soal kenapa
kelompok pimpinan Mr. Lee ini mencari-cari Ishmael dan bagaimana cara Ishmael
membasmi kroco kroco nya Mr. Lee menjadi hidangan utama film “Headshot”. Jadi, kalo film ini diibaratkan sebagai acara gala dinner, adegan gebuk-gebukannya ini
adalah hidangan kambing gulingnya.
So what do I think about the movie? Sebenernya di dalam kalimat
saya tadi ada kata sakti yang menjadi kunci berhasil atau tidaknya tontonan
ini. Kata itu adalah: “Cara” atau “How”.
If you saw how meticulously awesome the
fight choreography is in this movie, you’d know that this movie delivers what
it promised to do. Sutradara film ini, The
Mo Brothers, menurut saya, memiliki mata dan tangan yang terampil dalam
mengeksekusi berbagai adegan close range,
hand to hand (or hand to whatever, really) fighting yang pasti maha sulit untuk dipersiapkan, di-shoot, dan di-edit (untuk siapapun yang
ngedit film ini, saya turut bersimpati pada Anda). Tapi apakah adengan fighting seperti itu merupakan hal yang
baru bagi penonton yang awam dunia bela diri seperti saya? If you have watched all of those awesome hand-to-hand
bone-to-bone/jaw/head/celurit/parang combats
in two “The Raid” movies, doesn’t it seems like you’ve seen it all? Perhaps. Tapi
itulah uniknya sebuah karya seni. Lo bisa aja nge sketch ulang lukisan
Monalisa dengan tangan lo sendiri. Kalau lo terampil dan hasil sketching lo bagus, siapapun yang
ngeliat secara jujur pasti akan mengapresiasi. Ini yang terjadi pada gue
setelah nonton “Headshot.” It is as if the filmmakers of this movie are
sketching their art based on paintings of the two The Raid movies, but then
they cleverly add their own colors. Karena The Mo Brothers punya enough talent and skills, film ini jadi
sangat, and I repeat, sangat well
made dan bagi yang menikmati
dwilogi The Raid, sangat menghibur. Semua aspek teknis di film ini (to my untrained eye) dieksekusi sangat
baik. The fighting is lighting fast and
looks deadly. The editing is fluid enough to not make us lost or confused as to
who is fighting (and hurting who). The
music sounds incredible, constantly thumping, intensifying each action scene.
Selain bagian teknis, The Mo Brothers secara mengejutkan juga
berhasil membuat saya percaya bahwa Iko Uwais dan Chelsea Islan bisa saling
jatuh cinta. Yep. Film ini punya romantic
arc yang dijaga dari awal sampai akhir oleh pembuatnya untuk membedakannya
dari The Raid. Menurut saya, percobaan
ini berhasil. Kalau adegan baku hantam di film ini merupakan hidangan kambing
guling, maka romantika mini di dalam “Headshot”
ini ibarat obat penurun kolesterolnya. Bikin hati tenang setelah (nyaris)
jantungan.
Tentunya film ini juga nggak akan
enjoyable kalo pemain utamanya nggak
bisa “memimpin layar”. Untungnya The Mo
Brothers punya Iko Uwais. His physicality
and martial arts skills are imposing enough for the viewers to trust that he
will lead us through adrenaline-infused action scenes with only a couple of
bruises, broken bones, death by
chopsticks, and bullet to the face. But he seems humble, heroic and selfless
enough for us to be rooting for him. Saya juga, entah kenapa, merasa bahwa The Mo Brothers sangat mengetahui
kekuatan (dan kelemahan) aktor utamanya di depan kamera. What Mr. Uwais lacks in dramatic
acting ability, he makes up for strong screen presence dan dari cara film
ini di-edit, The Mo Brothers sangat
mengakomodasi hal ini (dramatic scenes
are kept short and sweet, while the fighting scenes are neverending. All the
better for it). Chelsea Islan bermain cukupan sebagai love interest, tapi tetap di mata saya, terlalu muda. Yang saya sedikit kecewa sebenarnya
aktris favorit saya (dan maunya saya, favorit semua orang), Julie Estelle.
Entah kenapa, berbeda dengan aktingnya yang menurut saya bagus di film “Rumah
Dara” (2009, disutradari The Mo Brothers
juga) dan “Selamanya” (film tahun 2007 yang menurut saya bagus, tapi pasti yang
lain bilang cheessy), jadi agak kaku di sini. Mungkin
sebagai penggemar, saya harus mengakui bahwa Julie merupakan aktor yang excel in physical acting, namun runs
into trouble when it comes to delivery of dialogue (intonasi suara Julie
dalam men-deliver dialog tidak sekaya
aktris seangkatannya seperti Acha Septriasa misalnya). So, naturally, I rejoice when I heard her next project will also be an
action movie, playing to her strength, directed once again by the Mo Brothers,
further adds to my belief that The Mo Brothers really knows their actors’ strength.
Sekarang saya menganggap Julie Estelle itu seperti Sigourney Weaver Indoensia in the making. And as movie nerds know, this is a praise of the highest order.
Go Julie!!
Eh, ini lagi review “Headshot” ya?
Sori, sori. Its good. Go watch it in
theater.
And, go Julie!!
18 December 2016
Dimas